Fikih Pembiayaan Syariah Berbasis Bagi Hasil
Fiqh Pembiayaan Syari’ah Berbasis Bagi Hasil
Abstrak
Sejak awal kelahiran Bank Syari’ah dilandasi dengan kehadiran dua gerakan
renaissance dan islam modern: neorevivalis an modernis. Tujuan utama dari
pendiarian lembaga keuangan berlandaskan etika ini adalah tiada lain sebagai
upaya kaum muslimin untuk mendasari segenap aspek kehidupan ekonominya
berlandaskan Al – Qur’an dan As – Sunnah. Secara umum, prinsip bagi hasil dalam
perbankan syariah dapat ilakukan dalam empat akad utama yaitu, al musyarakah,
al mudharabah, al muzara’ah, dan al musaqah. Sesungguhpun demikian, prinsip yag
palaing banyak dipakai adalah al Musyarakah & al Mudhrabah, sedangkan al
muzara’ah, dan al musaqah dipergunakan khusus untuk plantation financing atau
pembiayaan pertanian oleh beberapa bank islam.
Kata kunci : Mudharabah,Musyarakah, Bagi Hasil
Pendahuluan
Pembiayaan syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersmakan
dengan itu berdasaran persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak
yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut, setelah jangka
waktu tertentu dengan imbalan bai hasil.
Akad mudharabah adalah suatu pernyataan yang mengandung pengertian bahwa
seseorang memberi modal niaga kepada orang lain agar modal itu diniagakan
dengan perjanjian keuntungannya dibagi antara dua belah pihak sesuai
perjanjian, sedang kerugian ditanggung oleh pemilik modal. Sedangkan menurut
PSAK 105 mendifiniskan mudharabah sebagai akad kerja sama usaha antara dua
pihak di mana pihak pertama (pemilik dana/shahibul maal) menyediakan
seluruh dana, sedangkan pihak kedua (pengelola dana/mudharib) bertindak
selaku pengelola, dan keuntungan dibagi di antara mereka sesuai kesepakatan
sedangkan kerugian finansial hanya ditanggung oleh pemilik dana. Sedangkan
Musyarakah
Secara fiqih, dalam kitabnya, as-Sailul Jarrar III: 246 dan 248, Imam Asy-Syaukani menulis sebagai berikut,
“(Syirkah syar‟iyah) terwujud (terealisasi) atas dasar sama-sama ridha di
antara dua orang atau lebih, yang masing-masing dari mereka mengeluarkan modal
dalam ukuran yang tertentu. Kemudian modal bersama itu dikelola untuk mendapatkan keuntungan,
dengan syarat masing-masing di antara mereka mendapat keuntungan sesuai dengan
besarnya saham yang diserahkan kepada syirkah tersebut. Namun manakala mereka
semua sepakat dan ridha, keuntungannya dibagi rata antara mereka, meskipun
besarnya modal tidak sama, maka hal itu boleh dan sah, walaupun saham sebagian
mereka lebih sedikit sedang yang lain lebih besar jumlahnya.
Pengertian
A. Mudharabah
1.
Definisi
Akad mudharabah adalah suatu
pernyataan yang mengandung pengertian bahwa seseorang memberi modal niaga
kepada orang lain agar modal itu diniagakan dengan perjanjian keuntungannya
dibagi antara dua belah pihak sesuai perjanjian, sedang kerugian ditanggung
oleh pemilik modal.[1]
Sedangkan menurut PSAK 105 mendifiniskan mudharabah sebagai akad kerja sama
usaha antara dua pihak di mana pihak pertama (pemilik dana/shahibul maal)
menyediakan seluruh dana, sedangkan pihak kedua (pengelola dana/mudharib)
bertindak selaku pengelola, dan keuntungan dibagi di antara mereka sesuai
kesepakatan sedangkan kerugian finansial hanya ditanggung oleh pemilik dana.[2]
Kerugian akan ditanggung pemilik dana sepanjang kerugian itu tidak diakibatkan
oleh kelalaian pengelola dana, apabila kerugian yang terjadi diakibatkan oleh
kelalaian pengelola dana maka kerugian ini akan ditanggung oleh pengelola dana.
PSAK 105 par 18 memberikan beberapa contoh bentuk kelalaian pengelola dana,
yaitu: persyaratan yang ditentukan di dalam akad tidak dipenuhi, tidak terdapat
kondisi di luar kemampuan (force majeur) yang lazim dan/atau yang telah
ditentukan dalam akad, atau merupakan hasil keputusan dari institusi yang
berwenang.
2.
Sumber Hukum Akad Mudharabah
Menurut Ijmak ulama, mudharabah
hukumnya jaiz (boleh).[3]
Hal ini dapay diambil dari kisah Rasulullah yang pernah melakukan mudharabah
dengan Siti Khadijah. Siti Khadijah bertindak sebagai pemilik dana dan
Rasulullah sebagai pengelola dana. Lalu Rasulullah membawa barang dagangannya
ke negeri syam. Dari kisah ini kita lihat akad mudharabah telah terjadi pada
masa Rasulullah sebelum diangkat menjadi Rasul. Mudharabah telah dipraktikan
secara luas oleh orang-orang sebelum masa Islam dan beberapa sahabat Nabi
Muhammad SAW. jenis bisnis ini sangat bermanfaat dan sangat selaras dengan
prinsip dasar ajaran syariah, oleh karena itu akad ini diperbolehkan secara
syariah.
1.
Al-Quran
“Apabila telah ditunaikan shalat
maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan cerilah karunia Allah SWT” (QS
62:10)
“…Maka, jika sebagian kamu
memercayai sebagian lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya
dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya…” (QS 2:283)
2.
As-Sunnah
Dari Shalih bin Suaib r.a bahawa
Rasulullah SAW bersabda “tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkatan:jual
beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampuradukkan gandum
dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga bukan untuk dijual”. (HR Ibnu
Majah)
“Abbas bin
Abdul Muthalib jika menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia mensyaratkan kepada
pengelola dananya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta
tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia (pengelola dana)
harus menanggung risikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas didengar
Rasulullah SAW beliau membenarkannya” (HR Thabrani dari Ibnu Abbas)
3.
Jenis Akad Mudharabah
Dalam PSAK, mudharabah
diklasifikasikan ke dalam tiga jenis yaitu:[4]
1.
Mudharabah Muthlaqah adalah mudharabah di mana pemilik
dana memberikan kebebasan kepada pengelola dana dalam pengelolaan investasinya.
Mudharabah ini disebut juga investasi tidak terikat. Jenis mudharabah
ini tidak ditentukan masa berlakuya, di daerah mana usaha tersebut dilakukan,
tidak ditentulan line of trade, line if industry, atau line of
service yang akan dikerjakan. Namun kebebasan ini bukan kebebasan yang tak
terbatas sama sekali. Modal yang ditanamkan tetap tidak boleh digunakan untuk
membiayai proyek atau investasi yang dilarang oleh Islam seperti untuk
spekulasi, perdagangan minuman keras (sekalipun memperoleh izin dari
pemerintah), peternakan babi, ataupun berkaitan dengan riba dan lain
sebagainya. Dalam mudharabah muthlaqah, pengelola dana memiliki kewenanagan
untuk melakukan apa saja dalam pelaksanaan bisnis bagi keberhasilan tujuan
mudharabah tersebut. Namun, apabila ternyata pengelola dana melakukan kelalaian
atau kecurangan, maka pengelola dana harus bertanggung jawab atas
konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkannya. Sedangkan apabila terjadi kerugian
atas usaha itu, yang bukan karena kelalaian dan kecurangan pengelola dana maka
kerugian itu akan ditanggung oleh pemilik dana.
2.
Mudharabah Muqayyadah adalah mudharabah di mana pemilik
dana memberikan batasan kepada pengelola anatara lain mengenai dana, lokasi,
cara, dan/atau objek investasi atau sector usaha. Misalhnya, tidak mencampurkan
dana yang dimiliki oleh pemilik dana dengan dana lainnya, tidak
menginvestasikan dananya pada transaksi penjualan cicilan tanpa penjamin atau
mengharuskan pengelola dana untuk melakukan investasi sendiri tanpa melalui
pihak ketiga, (PSAK par 07). Mudharabah jenis ini disebut juga investasi
terikat. Apabila pengelola dana bertindak bertentangan dengan syarat-syarat
yang diberikan oleh pemilik dana, maka pengelola dana harus bertanggung jawab
atas konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkannya, termasuk konsekuensi
keuangan.
3.
Mudharabah Musytarakah adalah
mudharabah di mana pengelola dana menyertakan modal atau dana kerja sama
investasi. Dia awal kerja sama, akad yang disepakati adalah akad mudharabah
dengan modal 100% dari pemilik dana, setelah berjalannya operasi usaha dengan
pertimbangan tertentu dan kesepakatan pemilik dana, setelah berjalannya operasi
usaha dengan pertimbangan tertentu dan kesepakatan dengan pemilik dana,
pengelola dana ikut menanamkan modalnya dalam usaha tersebut jenis mudharabah
seperti ini disebut mudharabah musytarakah merupakan perpaduan antara akad
mudharabah dan akad musyarakah.
4.
Rukun dan Ketentuan Syariah
1.
Rukun Mudharabah ada empat, yaitu:[5]
a.
Pelaku, terdiri atas pemilik dana dan pengelola dana
b.
Objek Mudharabah, berupa modal dan kerja
c.
Ijab Kabul/Serah Terima
d.
Nisbah Keuntungan
2.
Ketentuan Syariah, adalah sebagai berikut:
a.
Pelaku
1.
Pelaku harus cakap hukum dan baligh
2.
Pelaku akad mudharabah dapat dilakukan sesame muslim atau dengan
nonmuslim
3.
Pemilik dana tidak boleh ikut campur dalam pengelolaan usaha tetapi
ia boleh mengawasi
b.
Objek Mudharabah (Modal dan Kerja)
1.
Modal
a.
Modal yang diserahkan dapat berbentuk uang atau asset lainnya
(dinilai sebesar nilai wajar), harus jelas jumlah dan jenisnya
b.
Modal harus tunai dan tidak utang. Tanpa adanya setoran modal,
berarti pemilik dana tidak memberikan kontribusi apa pun padahal pengelola dana
harus bekerja
c.
Modal harus diketahui dengan jelas jumlahnya sehingga dapat
dibedakan dari keuntungan
d.
Pengelola dana tidak diperkenankan untuk memudharabahkan kembali
modal mudharabah, dan apabila terjadi maka dianggap terjadi pelanggaran kecuali
aras seizing pemilik dana.
e.
Pengelola dana tidak diperbolehkan untuk meminjamkan modal kepada
orang lain dn apabila terjadi maka dianggap terjadi pelanggaran kecuali atas
seizing pemilik dana
f.
Pengelola dana memiliki kebebasan untuk mengatur modal menurut
kebijaksanaan dan pemikirannya sendiri, selama tidak dilarang secara syariah
2.
Kerja
a.
Kontribusi pengelola dana dapat berbentuk keahlian, keterampilan, Selling
skill, management skill, dan lain-lain
b.
Kerja adalah hak pengelola dana dan tidak boleh diintervensi oleh
pemilik dana
c.
Pengelola dana harus menjalankan usaha sesuai dengan syariah
d.
Pengelola dana harus mematuhi semua ketetapan yang ada dalam
kontrak
e.
Dalam hal oemilik dana tidak melakukan kewajiban atau melakukan
pelanggaran terhadap kesepakatan, pengelola dana sudah menerima modal dan sudah
bekerja maka pengelola dana berhak mendapatkan imbalan/ganti rugi/upah
c.
Ijab Kabul
Adalah pernyataan dan ekspresi
saling rida diantara pihak-pihak pelaku akad yang dilakukan secara verbal,
tertulis, melalui korespondensi atau menggunakan cara-cara komunikasi modern
d.
Nisbah keuntungan
1.
Nisbah adalah besaran yang digunakan untuk pembagian keuntungan,
mencerminkan imbalan yang berhal diterima oleh kedua pihak yang bermudharabah
atas keuntungan yang diperoleh. Pengelola dana mendapatkan imbalan atas
kerjanya, sedangkan pemilik dana mendapat imbalan atas penyertaan modalnya.
Nisbah keuntungan harus diketahui dengan jelas oleh kedua pihak, inilah yang
akan mencegah terjadinya perselisihan antara kedua belah pihak mengenai cara
pembagian keuntungan
2.
Perubahan nisbah harus berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak
3.
Pemilik dana tidak boleh meminta pembagian keuntungan dengan
menyatakan nilai nominal tertentu karena dapat menimbulkan riba
Pada dasarnya
pengelola dana tidak diperkenankan untuk memudharabahkan kembali modal
mudharabah, dan apabila terjadi maka dianggap terjadi pelanggaran kecuali atas
seizing pemilik dana. Apabila pengelola dana dibolehkan oleh pemilik dana untuk
memudharabahkan kembali modal mudharabah maka pembagian keuntungan untuk kasus
seperti itu, pemilik dana mendapatkan keuntungan sesuai dengan kesepatakan
antara dia dan pengelola dana pertama. Sementara itu bagian keuntungan dari
pengelola dana pertama dibagi dengan pengelola dana yang kedua sesuai dengan
porsi bagian yang telah disepakati antara keduanya. Apabila terjadi kerugian
ditanggung oleh pemilik dana kecuali ada kelalaian atau pelanggaran kontrak
oleh pengelola dana, cara menyelesaikannya adalah:
a.
Diambil terlebih dahulu keuntungan karena keuntungan merupakan
pelindung modal
b.
Bila kerugian melebihi keuntungan, maka baru diambil dari pokok
modal
5.
Prinsip Pembagian Hasil Usaha (PSAK 2015 Par 11)
Dalam
mudharabah istilah profit and loss sharing tidak tepat digunakan karena
yang dibagi hanya keuntungannya saja, tidak termasuk kerugiannya. Sehingga
untuk pembahasan selanjutnya, akan digunakan istilah prinsip bagi hasil seperti
yang digunakan dalam Undang-Undang No.10 Tahun 1998, karena apabila usaha
tersebut gagal kerugian tidak dibagi di antara pemilik dana dan pengelola dana,
tetapi harus ditanggung sendiri oleh pemilik dana.[6]
Pembagian
hasil usaha mudharabah dapat dilakukan berdasarkan pengakuan penghasilan usaha
mudharabah, dalam praktik dapat diketahui berdasarkan laporan bagi hasil atau
realisasi penghasilan hasil usaha dari pengelola dana. Tidak diperkenankan
mengakui pendapatan dari proyeksi hasil usaha.
Untuk
menghindari perselisihan dalam hal biaya yang dikeluarkan oleh pengelola dana,
dalam akad harus disepakati biaya-biaya apa saja yang dapat dikurangkan
pendapatan.
Contoh perhitungan pembagian hasil
usaha:
Data:
Penjualan Rp 1.000.000
HPP (Rp
650.000)
Laba Kotor Rp 350.000
Biaya-Biaya (Rp 250.000)
Laba (rugi) bersih Rp 100.000
1.
Berdasarkan prinsip laba (Profit sharing), maka nisbah
pemilik dana : Pengelola dana yaitu 30:70
Pemilik dana : 30% x Rp 100.000 = Rp 30.000
Pengelola dana : 70% x Rp
100.000 = Rp 70.000
Dasar pembagian hasil usaha adalah
neto/laba bersih yaitu laba kotor dikurangi beban yang berkaitan dengan
pengelolaan modal mudharabah
2.
Berdasarkan prinsip bagi hasil, maka dasar pembagian hasil usaha adalah
laba bruto/laba kotor bukan pendapatan usaha dengan nisbah pemilik dana :
pengelola dana = 10:90
Bank Syariah : 10% x Rp 350.000 = Rp 35.000
Pengelola : 90% x Rp 350.000 = Rp
315.000
Jika akad mudharabah melebihi satu
periode pelaporan, penghasilan usaha diakui dalam periode terjadinya hak bagi
hasil sesuai nisbah yang disepakati (PSAK 105 Par 20)
B.
Musyarakah
1.
Definisi
Secara bahasa Musyarakah berasal dari kata al-syirkah
yang berarti al-ikhtilath (percampuran) atau persekutuan dua hal atau lebih,
sehingga antara masing-masing sulit dibedakan. Seperti persekutuan hak milik
atau perserikatan usaha.[7]
Secara etimologis, musyarakah
adalah penggabungan, percampuran atau serikat. Musyarakah berarti kerjasama
kemitraan atau dalam bahasa Inggris disebut partnership.[8][9]
Secara fiqih, dalam kitabnya, as-Sailul Jarrar
III: 246 dan 248, Imam Asy-Syaukani
menulis sebagai berikut, “(Syirkah syar‟iyah) terwujud (terealisasi) atas dasar
sama-sama ridha di antara dua orang atau lebih, yang masing-masing dari mereka
mengeluarkan modal dalam ukuran yang tertentu. Kemudian modal
bersama itu dikelola untuk mendapatkan keuntungan, dengan syarat masing-masing
di antara mereka mendapat keuntungan sesuai dengan besarnya saham yang
diserahkan kepada syirkah tersebut. Namun manakala mereka semua sepakat dan
ridha, keuntungannya dibagi rata antara mereka, meskipun besarnya modal tidak
sama, maka hal itu boleh dan sah, walaupun saham sebagian mereka lebih sedikit
sedang yang lain lebih besar jumlahnya. Dalam kacamata syariat, hal seperti ini
tidak mengapa, karena usaha bisnis itu
yang terpenting didasarkan atas ridha sama ridha, toleransi dan lapang dada.[10]
Musyarakah adalah akad kerjasama yang
terjadi di antara para pemilik modal (mitra musyarakah)
untuk menggabungkan modal dan melakukan usaha secara bersama dalam suatu
kemitraan, dengan nisbah pembagian hasil sesuai dengan kesepakatan, sedangkan
kerugian ditanggung secara proporsional sesuai dengan kontribusi modal.[11]
2.
Hukum Dasar Musyarakah
Musyarakah merupakan akad yang diperbolehkan berdasarkan Alqur‟an, sunnah,
dan ijma‟.
Al
Qur‟an
Q.S
An Nisa ayat 12
فاَنِ كَاوىُآ أكْترََمِه ذَالكِ فهَمُْ
شُرَكَآءُفىِ الثلُّثُِ
“Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka
mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu”. Q.S An Nisa : 12)
Q.S
Shaad ayat 24
وَانَِّ
كَثيْرًا ِّمهَ آلْخُلطََاءِّ ليَبَْخِى بعَْصُهمُْ عَلىَ بعَْضٍ الِااَّلذَِّيهَ
ءَامَىىُأوَعَمِلىُا آلصَّلحَِتِ
وَقلَيِلٌ مَّا همُْ
“Dari sesungguhnya kebanyakan dari
orang-orang yang berserikat itu sebagian
mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang
beriman dan mengerjakan amal yang shaleh; dan amat sedikitlah mereka ini”. (Q.S
Shaad : 24)
Dalam Surah An-Nisa (4) ayat 12,
pengertian syarukâ’ adalah bersekutu
dalam memiliki harta yang diperoleh dari warisan. Sedangkan dalam Surah Shâd
(38) ayat 24, lafal al-khulathâ’
diartikan syarukâ’, yakni orang-orang
yang mencampurkan harta mereka untuk dikelola bersama.
Sunnah
a.
Hadis Abu Hurairah
b.
Hadis As-Saib Al-Makhzumi
c.
Hadis Abdullah bin Mas‟ud
Ijma‟
Ibnu Qudamahdalam kitabnya, al
Mughni, telah berkata: “Kaum muslimin telah berkonsensus terhadap legitimasi
masyarakat secara global walaupun terdapat perbedaan pendapat dalam beberapa
elemen darinya”.[12]
3. Syarat Musyarakah
Adapun yang menjadi syarat syirkah
adalah sebagai berikut:
a.
Tidak ada bentuk khusus kontrak, berakad dianggap sah jika
diucapkan secara verbal/tertulis, kontrak dicatat dalam tulisan dan disaksikan.
b.
Mitra harus kompeten dalam memberikan/diberikan kekuasaan
perwalian.
c.
Modal harus uang tunai, emas, perak yang nilainya sama, dapat
terdiri dari asset perdagangan, hak yang tidak terlihat (misalnya lisensi, hak
paten dan sebagainya).
d.
Partisipasi para mitra dalam pekerjaan adalah sebuah hukum dasar
dan tidak diperbolehkan bagi salah satu dari mereka untuk mencantumkan tidak
ikut sertanya
mitra lainnya.
Namun porsi melaksanakan pekerjaan tidak perlu harus sama, demikian pula dengan
bagian keuntungan yang diterima.[13]
4.
Rukun Musyarakah
Musyarakah
memiliki beberapa rukun, antara lain:
a.
Ijab-qabul (sighat)
Adalah adanya
kesepakatan antara kedua belah pihak yang bertransaksi.
b.
Dua pihak yang berakad (‘aqidani)
dan memiliki kecakapan melakukan pengelolaan harta.
c.
Objek aqad (mahal), yang
disebut juga ma’qud alaihi, yang
mencakup modal atau pekerjaan.
d.
Nisbah bagi hasil.[14]
5.
Macam – Macam Musyarakah
Secara garis
besar syirkah terbagi kepada dua
bagian:[15]
1.
Syirkah Al-Amlak
Syirkah al-amlak (syirkah milik) adalah ibarat
dua orang atau lebih memilikkan suatu benda kepada yang lain tanpa ada akad syirkah.[16] Dari definisi tersebut, dapat
dipahami bahwa syirkah milik adalah
suatu syirkah dimana dua orang atau
lebih bersama-sama memiliki suatu barang tanpa melakukan akad syirkah. Contoh, dua orang diberi hibah
ssebuah rumah. Dalam contoh ini rumah tersebut dimiliki oleeh dua orang melalui
hibah, tanpa akad syirkah antara dua
orang yang diberi hibah tersebut.[17]
Dalam
syirkah al-amlak, terbagi dalam dua
bentuk, yaitu:
a.
Syirkah al-jabr
Berkumpulnya dua orang atau lebih
dalam pemilikan suatu benda secara paksa.11
b.
Syirkah Ikhtiyariyah
Yaitu suatu bentuk kepemilikan
bersama yang timbul karena perbuatan orang-orang yang berserikat.[18]
2.
Syirkah Al-„Uqud
Syirkah al-uqud (contractual partnership),
dapat dianggap sebagai kemitraan yang sesungguhnya, karena para pihak yang
bersangkutan secara sukarela berkeinginan untuk membuat suatu perjanjian
investasi bersama dan berbagi untuk dan risiko.
Syirkah al-Uqud dibagi menjadi 5 jenis, yaitu:
Syirkah Mufawwadah.
Merupakan akad kerja sama usaha antar dua pihak atau lebih, yang
masing-masing pihak harus menyerahkan modal dengan porsi modal yang sama dan
bagi hasil atas usaha atau risiko ditanggung bersama dengan jumlah yang sama. Dalam
syirkah mufawwadah, masing-masing
mitra usaha memiliki hak dan tangung jwab yang sama.
Syirkah
Inan
Merupakan akad kerja sama usaha
antara dua orang atau lebih, yang masing-masing mitra kerja harus menyerahkan
dana untuk modal yang porsi modalnya tidak harus sama. Pembagian hasil usaha
sesuai dengan kesepakatan, tidak harus
sesuai dengan kontribusi dana yang diberikan. Dalam syirkah inan, masing-masing pihak tidak harus menyerahkan modal dalam bentuk uang tunai saja, akan tetapi dapat dalam bentuk aset
atau kombinasi antara uang tunai dan asset atau tenaga.[19]
Syirkah Al-‘Amal
Syirkah al-‘amal adalah kontrak kerja sama dua orang
seprofesi untuk menerima pekerjaan secara bersama dan berbagi keuntungan dari
pekerjaaan itu. Misalnya kerja sama dua orang arsitek untuk menggarap sebuah
proyek atau kerjasama, dua orang penjahit untuk menerima order pembuatan
seragam sebuah kantor. Musyarakah ini
kadang disebut dengan syirkah abdan
atau sanaa’i.[20][21]
Syirkah Al-Wujuh
Yaitu
kontrak antara dua orang atau lebih yang memiliki reputasi dan prastise yang
baik serta ahli dalam bisnis, mereka membeli barang secara kredit dari suatu
perusahaan dan menjual barang tersebut secara tunai. Mereka membagikan
berdasarkan jaminan kepada penyedia barang yang disiapkan oleh setiap rekan
kerja.
Sayyid
Sabiq memberikan definisi syirkah
al-wujuh yaitu dua orang atau lebih membeli suatu barang tanpa modal,
melainkan semata berdagang kepada nama baik dan kepercayaan pada pedagang
kepada mereka. Syirkah ini disebut juga syirkah
tanggung jawab tanpa kerja dan modal.[22]
Syirkah
Mudharabah
Merupakan kerja sama usaha antara
dua pihak atau lebih yang mana satu pihak sebagai shahibul maal yang menyediakan dana 100% untuk keperluan usaha, dan
pihak lain tidak menyerahkan modal dan hanya sebagai pengelola atas usaha yang
dijalankan, disebut mudharib.16
6.
Manfaat Musyarakah
Terdapat
banyak manfaat dari pembiayaan musyarakah
ini, di antaranya sebagai berikut:
a.
Bank akan menikmati peningkatan dalam jumlah tertentu pada saat
keuntungan usaha nasabah meningkat.
b.
Bank tidak berkewajiban membayar dalam jumlah tertentu kepada
nasabah pendanaan secara tetap, tetapi disesuaikan dengan pendapatan/hasil
usaha bank, sehingga bank tidak akan pernah mengalami negative spread.
c.
Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan cash flow/arus kas usaha nasabah,
sehingga tidak memberatkan nasabah.
d.
Bank akan lebih selektif dan hati-hati (prudent) mencari usaha yang
benar-benar halal, aman, dan menguntungkan. Hal ini karena keuntungan yang riil
dan benar-benar terjadi itulah yang akan dibagikan.
e.
Prinsip bagi hasil dalam mudharabah/musyarakah
ini berbeda dengan prinsip bunga tetap di aman bank akan menagih penerima
pembiayaan (nasabah) satu jumlah bunga tetap berapapun keuntungan yang
dihasilkan nasabah, bahkan sekalipun merugi dan terjadi krisis ekonomi.[23]
7.
Fatwa DSN tentang
Pembiayaan Musyarakah
Ketentuan pembiayaan musyarakah
terdapat pada fatwa DSN-MUI No.08 Tahun 2000, sebagai berikut[24]:
1)
Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk
menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad), dengan
memperhatikan hal-hal berikut:
a.
Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan
kontrak (akad).
b.
Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak.
c.
Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau dengan
menggunakan cara-cara komunikasi modern.
2)
Pihak-pihak yang berkontrak harus cakap hukum, dan memperhatikan
hal-hal berikut:
a.
Kompeten dalam memberikan atau diberikan kekuasaan perwakilan.
b.
Setiap mitra harus menyediakan dana dan pekerjaan, dan setiap mitra
melaksanakan kerja sebagai wakil.
c.
Setiap mitra memiliki hak untuk mengatur aset musyarakah dalam
proses bisnis normal.
d.
Setiap mitra memberi wewenang kepada mitra yang lain untuk
mengelola aset dan masing-masing dianggap telah diberi wewenang untuk melakukan
aktifitas musyarakah dengan memperhatikan kepentingan mitranya, tanpa melakukan
kelalaian dan kesalahan yang disengaja.
e.
Seseorang mitra tidak diizinkan untuk mencairkan atau
menginvestasikan dana untuk kepentingannya sendiri.
3)
Obyek akad (modal, kerja, keuntungan dan kerugian)
a.
Modal
1.
Modal yang diberikan harus uang tunai, emas, perak atau yang
lainnya sama. Modal dapat terdiri dari aset perdagangan, seperti barang-barang,
properti, dan sebagainya. Jika modal berbentuk aset, harus terlebih dahulu
dinilai dengan tunai dan disepakati oleh para mitra.
2.
Para pihak tidak boleh
meminjam, meminjamkan, menyumbangkan atau menghadiahkan modal musyarakah
kepada pihak lain, kecuali atas dasar kesepakatan.
3.
Pada prinsipnya, dalam pembiayaan musyarakah tidak ada jaminan,
namun untuk menghindari terjadinya penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan.
b.
Kerja
1.
Partisipasi para mitra dealam pekerjaan merupakan dasar pelaksanaan
musyarakah; akan tetapi, kesamaan porsi kerja bukanlah merupakan syarat.
Seorang mitra boleh melaksanakan kerja lebih banyak dari
yang lainnya, dan dalam hal ini ia boleh menuntut bagian keuntungan tambahan
bagi dirinya.
2.
Setiap mitra melaksanakan kerja dalam musyarakah atas nama pribadi
dan wakil dari mitranya. Kedudukan masingmasing dalam organisasi kerja harus
dijelaskan dalam kontrak.
c.
Keuntungan
1.
Keuntungan harus dikuantifikasi dengan jelas untuk menghindarkan
perbedaan dan sengketa pada waktu alokasi keuntungan atau penghentian
musyarakah.
2.
Setiap keuntungan mitra harus dibagikan secara proporsional atas
dasar seluruh keuntungan dan tidak ada jumlah yang ditentukan diawal yang
ditetapkan bagi seorang mitra.
3.
Seorang mitra boleh mengusulkan bahwa jika keuntungan melebihi
jumlah tertentu, kelebihan atau prosentase itu diberikan kepadanya.
d. Kerugian
Kerugian harus
dibagi di antara para mitra secara proporsional menurut saham masing-masing
dalam modal.
4) Biaya
operasional dan persengketaan
a.
Biaya operasional dibebankan pada modal bersama.
b.
Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika
terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan
melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui
musyawarah.
C.
Bagi Hasil
1.
Penetapan Nisbah bagi Hasil
Pembiayaan
Bank syariah
menerapkan Nisbah Bagi Hasil terhadap produk-produk pembiayaan yang berbasis
Natural Uncertainty Contracts (NUC),
yakni akad bisnis yang tidak memberikan kepastian pendapatan (return), baik
dari segi jumlah (amount) maupun waktu (timing), seperti mudharabah dan
masyarakat.Penerapan nisbah bagi hasil pembiayaan ditentukan dengan
mempertimbagkan tiga metode sebagai
berikut.
a.
Penentuan nisbah bagi hasil keuntungan (Profit Sharing)
Dalam hal ini, nisbah bagi hasil pembiayaan
untuk bank ditentukan berdasarkan pada perkiraan keuntungan yang diperoleh
nasabah dibagi dengan referensi tingkat keuntungan yang telah ditetapakan dalam
rapat ALCO. Perkiraan tingkat keuntungan bisnis/proyek yang dibiayai dihitung
dengan mempertimbangkan:
·
Perkiraan Penjualan
·
Lama cash to cash cycle
·
Perkiraan Biaya-biaya Langsung (COGS)
·
Perkiraan Biaya-biaya Tidak Langsung (OHC)
·
Delayet Factor
b.
Pentuan nisbah bagi hasil
pendapatan (Revenue Sharing)
Dalam hal ini, nisbah bagi hasil pembiayaan
untuk bank ditentukan berdasarkan pada perkiraan pendapatan yang diperoleh
nasabah dibagi dengan referensi tingkat keuntungan yang telah ditetapkan dalam
rapat ALCO. Perkiraan tingkat pendapatan bisnis/proyek yang dibiayai dihitung
dengan mempertimbangkan:
·
Perkiraan Penjualan
·
Lama cash to cash cycle
·
Perkiraan Biaya-biaya Langsung (COGS)
·
Delayet Factor
c.
Penentuan nisbah bagi hasil penjualan (Sales Sharing)
Dalam hal ini, nisbah bagi hasil pembiayaan
untuk bank ditentukan berdasarkan pada perkiraan penerimaan penjualan yang diperoleh
nasabah dibagi dengan pokok pembiayaan dan referensi tingkat keuntungan yang
telah ditetapkan dalalm rapat ALCO. Perkiraan penerimaan penjualan dihitung
dengan mempertimbangkan:
·
Perkiraan Penjualan
·
Lama cash to cash cycle
·
Delayet Factora
2.
Mekanisme perhitungan bagi hasil
Belum adanya standar pola oprasi yang
dikeluarkan oleh otoritas moneter menjadikan bank – bank syari’ah yang pada
saat ini sudah beroprasi melauan adopsi atau menyusun pola operasi yang
diterapkan yang paa akhirnya akan mempersulit otoritas moneter, pemilik dana
serta bank yang bersangkutan melakukan kontrol serta mengukur tingkat kepatuhan
dan keberhasilan dari usaha bank – bank tersebut. Berikut contoh cara
menghitung bagi hasil pada bank syari’ah:
Menghitung saldo rata – rata dari sumber dana
bank yang berdasarkan data darihasil perhitungan di atas.
Giro wadiah |
Rp. 60.000 |
Tabungan Mudharabah |
Rp. 150.000 |
Deposito Mudharabah 1 bulan |
Rp. 50.000 |
Deposito Mudharabah 3 bulan |
Rp. 40.000 |
Deposito Mudharabah 6 bulan |
Rp. 175.000 |
Deposito Mudharabah 12
bulan |
Rp. 75.000 |
Total Sumber Dana |
Rp. 550.000 |
Daftar Pustaka
1. Mardani,
Hukum Bisnis Syariah, (Jakarta:
Prenadamedia Group, cet ke-1, [1]
), h. 142
2. Hendi
Suhendi, Fiqh Muamalah,( Jakarta:
Rajawali Pers, 2010), h.129.
3. Ghufron
Ajib, Fiqh Muamalah II
Kontemporer-Indonesia, (Semarang: CV. Karya Abadi Jaya, cet ke-1, 2015),
h.177-181.
4.
Suherman,
Penterapan Prinsip Bagi Hasil Pada Perbankan Syariah Sebuah Pendekatan Al-Maqasidu Al-Syariah. Al
Mashlahah Jurnal Umum dan Pranata Sosial Islam
5.
Wasilah, Sri
Nurhayati. Akuntansi Syariah di Indonesia. Jakarta:Salemba Empat, 2016
6. Sri Dewi Anggadini, Adeh Ratna Komala. Akuntansi
Syari’ah. Bandung. Rekayasa Sains. 2017
[1] Suherman, Penterapan Prinsip
Bagi Hasil Pada Perbankan Syariah
Sebuah Pendekatan Al-Maqasidu Al-Syariah.
Al Mashlahah Jurnal Hukum dan Pranata Sosial Islam. Hlm 298
[2] Sri Nurhayati Wasilah, Akuntansi Syariah di Indonesia. (Jakarta:Salemba
Empat, 2016). Hlm. 128
[3] Ibid., hlm. 131
[4] Ibid., hlm. 130
[5] Ibid., hlm. 132
[6] Ibid., hlm 134
[7]
Ghufron A.Mas‟adi, Fiqh Muamalah
Kontekstual, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, cet ke-1),
2002, h.191
[8]
Mardani, Hukum Bisnis Syariah,
(Jakarta: Prenadamedia Group, cet ke-1,
[9] ), h.
142
[10]
Naf‟an, Pembiayaan Musyarakah dan
Mudharabah, (Yogyakarta: Graha Ilmu, cet ke-1, 2014), h.96
[11]
Naf‟an, Pembiayaan Musyarakah dan....,
h.95
[12]
Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syariah:
Dari Teori ke Praktek, (Jakarta:
Gema Insani, cet ke-1,
2010), h.91
[13]
Abdul Ghafar Anshori, Hukum Perjanjian
Islam Di Indonesia (konsep, regulasi, dan implementasi), (Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press), h.119
[14]
Naf‟an, Pembiayaan Musyarakah dan...., h.98.
[15]
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Amzah, cet ke-1, 2010), h.344.
[16]
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah,(
Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h.129.
[17]
Muslich, Fiqh Muamalat...., h.344. 11Suhendi,
Fiqh Muamalah...., h.130.
[18]
Muslich, Fiqh Muamalat...., h.344
[19]
Ismail, Perbankan Syariah, (Jakarta:
Kencana Prenadamedia Group), h.177178.
[20]
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, Jakarta: Rajawali Press,
[21]
, h.50
[22]
Mardani, Hukum Bisnis Syariah....,
h.144-145. 16Ismail, Perbankan Syariah...., h.179.
[23]
Ismail, Perbankan Syariah...., h.103.