KONSEP IJARAH ( SEWA MENYEWA DAN UPAH)

Table of Contents

 KONSEP IJARAH ( SEWA MENYEWA DAN UPAH)

Rena Vidia Hodijah  (1189210073)

Siti Patonah (1189210092)

Yuliani Pratiwi (1189210100)

Rini Aswari (1189210101)

Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung

Email

ABSTRACK

Ijarah is turning over the beneficial values of a legal product or good in the certain period of time using the iwadh system. People like to practice it in two ways, which are ijarah manfaat, such as leasing or renting a product and ijarah amal, typically called as farming workers or simply workers.  In economic traffic, ijarah has a high intensity, both by individuals, financial institutions with individuals and financial institutions and other legal institutions. Ijarah which is the sale and purchase of benefits of goods and services (both professional and non-professional services) requires that there are two parties that bind themselves in an agreement dictum with a specific deadline and purpose, so that it has terms and conditions as a parameter of its validity.
Keywords : Ijarah, Agreement,Terms

 

ABSTRAK

Ijarah adalah memilikkan manfaat sesuatu yang mubah pada jangka waktu tertentu dengan adanya iwadh. Ada dua jenis ijarah yang biasa dilakukan oleh masyarakat, yakni ijarah manfaat, seperti sewa pada suatu barang, dan ijarah amal yang biasa disebut buruh atau tenaga kerja. Dalam  lintas ekonomi, ijarah memiliki intensitas yang tinggi, baik dilakukan orang perorang, lembaga keuangan dengan orang perorang maupun lembaga keuangan dan lembaga hukum lainnya. Ijarah yang merupakan jual beli manfaat barang maupun jasa (baik jasa profesional maupun non profesional) mengharuskan adanya dua pihak yang mengikatkan diri dalam suatu diktum-diktum kesepakatan dengan tenggat taktu dan tujuan tertentu, sehingga ia memiliki syarat dan rukun sebagai parameter keabsahannya.

Kata Kunci : Ijarah, Akad, Syarat

 

 

I.               Pendahuluan

Muamalah adalah salah satu aspek penting selain ibadah yang menjadi bagian dari aktivitas manusia. Fiqh muamalah adalah seperangkat aturan yang berkaitan dengan aktivitas sosial manusia, baik berkaitan dengan harta (maliyah) atau tidak berikatan dengan harta (ghairu maliyah) seperti pidana, perdata dan ke-tatanegara-an. Ada ciri pembeda antara fiqh muamalah dan fiqh ibadah, yang salah satunya adalah bahwa fiqh ibadah memiliki sifat fleksibel. Artinya, hukum dalam fiqh muamalah akan terus berkembang seiring dengan perkembangan waktu dan perubahan tempat, sesuai kebutuhan manusia. Hal ini tentu saja karena fiqh muamalah berbicara tentang aktivitas sosial manusia, termasuk aktivitas ekonomi yang sangat cepat berkembang.

Ijarah (sewa) adalah salah satu transaksi ekonomi yang banyak dilakukan oleh masyarakat. Karena ijarah ini tidak hanya berupa sewa manfaat atas barang (ijarah al-manfa’ah), tetapi juga berupa sewa keahlian/pekerjaan atau biasa yang disebut tenaga kerja (ijarah al-a’mal). Dalam fiqh sebenarnya sudah diatur tentang bagaimana pelaksanaan ijarah yang meliputi landasan hukum syar’i, syarat, rukun serta hak dan kewajiban kedua belah pihak. Namun praktek ijarah yang dilakukan oleh masyarakat juga berkembang dengan cepat seiring kebutuhan manusia akan transaksi ekonomi. Karena itu, fiqh juga harus bisa menjawab dan memberikan landasan hukum terhadap praktik-praktik muamalah kontemporer ini.

II.            Pembahasan

A.    Pengertian Ijarah

Makna operasional upah (ijarah) menurut Idris Ahmad dalam bukunya yang berjudul Fiqh Syafi’i berpendapat bahwa ijarah berarti upah-mengupah. Hal ini terlihat ketika beliau menerangkan rukun dan syarat upah mengupah, yaitu mu‟jir dan musta‟jir (yang memberikan upah dan yang menerima upah), Sedangkan menurut Kamaludin A. Marzuki sebagai penerjemah fiqh sunnah karya Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa makna ijarah sama dengan sewa-menyewa. Dari kedua buku tersebut ada perbedaan terjemahan kata ija>rah dari bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia. yaitu antara sewa dan upah, di mana keduanya memilki makna operasional yang berbeda. Sewa biasanya digunakan untuk benda, seperti “tukang becak menyewa becak untuk digunakan bekerja”, sedangkan upah digunakan untuk tenaga kerja, seperti, “para karyawan bekerja di pabrik yang dibayar dengan gajinya (upahnya) satu kali dalam seminggu.” Dengan demikian, dalam bahasa arab upah dan sewa disebut dengan ijarah. Secara bahasa, al-ijarah berasal dari kata al-ajru yang berarti al-iwad, yakni ganti dan upah, sewa jasa, atau imbalan.[1]

Sebagian ulama‟ mengartikan ijarah sebagai upah, sementara sebagian yang lain menyebutnya dengan sewa-menyewa. Sedangkan ijarah menurut syara‟, ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ulama‟:

a.      Menurut Shafi‟iyah, ijarah ialah:

 

وَحَدُّ عَقْدِ الْاِجَارَةِ : عَقْدٌ عَلَي مَنْفَعَةٍ مَقْصُوْدَةٍ مَعْلُوْمَةٍ قَابِلَةٍ لِلْبَذْلِ وَالْاِبَاحَةِ بِعِوَضٍ مَعْلُوْمٍ

Defenisi akad iajarah adalah suatu akad atas manfa’at yang dimaksud dan tertentu yang bisa diberikan dan di bolehkan dengan imbalan tertentu.

 

b.      Menurut Hanafiyah, ijarah ialah:

 

عَقْدُ يُفِيْدُ تَمْلِيْكُ مَنْفَعَةٍ مَعْلُوْمَةٍ مَقْصُوْدَةٍ مِنَ الْعَيْنِ اَلْمُسْتَأْجِرَةٍ بِعَوْضٍ

 Akad untuk membolehkan pemilikan manfaat yang diketahui dengan disengaja dari suatu zat yang disewa dengan imbalan

c.      Menurut Malikiyah, ijarah ialah:

 

تَسْمِيَةُ التَّعَا قُدِ عَلَي مَنْفَعَةِ الاَدَمِيْ وَبَعْضِ الْمَنْقُوْلَانِ

Nama bagi akad-akad untuk kemanfaatan yang bersifat manusiawi dan sebagian yang dapat dipindahkan

d.      Menurut Shaikh Shihab al-Din dan Shaikh Umairah, ijarah ialah:

عَقْدٌ عَلَي مَنْفَعَةٍ مَعْلُوْمَةٍ مَقْصُوْدَةٍ قَابِلَةٌ لِلْبَذْلِ وَالْأَبَاحَةِ بِعَوْضِ وَضْعا

Akad atas manfaat yang diketahui dan disengaja untuk memberi dan membolehkan dengan imbalan yang diketahui ketika itu”.

Berdasarkan beberapa penjelasan ulama di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa ijarah adalah akad atas manfaat yang diperbolehkan dengan iwadl tertentu. Dalam bahasa Indonesia, ijarah dikenal dengan istilah sewa menyewa atau upah mengupah.

Menurut fatwa DSN MUI No. 09/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan Ijarah, Ijarah adalah akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa/upah, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri. Dengan demikian akad ijarah tidak ada perubahan kepemilikan, tetapi hanya perpindahan hak guna saja dari yang menyewakanpada penyewa.[2]

B.     Macam-macam Ijarah

Ada beberapa macam ijarah yang dilihat dari segi objek dan pemilik manfaat

a.     Macam-macam Ijarah dari segi objek

Dilihat dari segi objek, ijarah ada dua macam, yaitu:

1)    Ijarah manfaat, yakni menjadikan manfaat dari suatu barang sebagai ma‟qud alaih, seperti menyewakan sebuah rumah untuk ditempati dan menyewakan kendaraan untuk dikendarai.

2)    Ijarah a‟mal, yakni menjadikan pekerjaan/jasa dari seseorang sebagai ma‟qud alaih. Seperti menyewa/mengupah seseorang untuk membangun sebuah bangunan, menjahit baju, atau pekerjaan lainnya.

b.      Macam-macam ijarah dari segi pemilik manfaat

Ada dua macam ijarah jika dilihat dari pemilik manfaat, yaitu:

1)    Ijarah khas, yakni ijarah yang manfaatnya dimiliki satu orang tertentu.[3]

 

C.    Rukun dan Syarat Ijarah

1. Rukun ijarah

            Menurut Jumhur, rukun ijarah ada empat[4]:

a.     Aqidain (dua orang yang berakad), yaitu ajir dan musta’jir. Dalam sewa menyewa (sewa atas manfaat), ajir adalah penyewa dan musta’jir adalah yang menyewakan. Sedangkan dalam upah mengupah, ajir adalah pekerja/pemberi jasa dan musta’jir adalah pengupah/penerima jasa. Ajir yang bekerja pada seseorang atau beberpa orang tertentu disebut ajir khas (pekerja khusus) dan yang bekerja pada orang banyak, tidak terbatas pada orang-orang tertentu disebut ajir musytarak.

b.     Shigat, yaitu ijab dan qabul. Ijarah harus dilakukan dengan rela sama rela, maka ijab dan qabul ini menunjukkan adanya kerelaah dan aqidain.

c.     Manfaat, yaitu manfaat yang diterima oleh penyewa. Jika akadnya berupa sewa barang, maka manfaat berarti nilai guna dari barang tersebut, dan jika akadnya adalah sewa jasa/upah mengupah maka yang dimaksud manfaat adalah pekerjaan yang diberikan oleh pemberi jasa.

d.     Ujrah, yaitu biaya sewa sebagai ganti dari manfaa yang diterima oleh penyewa atau upah yang diberikan oleh penerima jasa kepada pemberi jasa.

2. Syarat Ijarah

            Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam akad ijarah ini, yakni sebagai berikut[5]:

a.     Syarat terjadinya akad

Untuk melakukan akad ijarah ini, aqid disyaratkan harus berakal. Maka orang gila dan anak kecil yang belum mumayyiz tidak sah meakukan akad ini. Ulama hanafiyyah tidak mempersyaratkan harus baligh bagi aqid. Namun menurut Syafiíyah, aqid harus baligh, sebab baligh adalah salah sat syarat sseorang mencapai batas taklif. Sedangkan menurut Malikiyyah, tanyiz merupakan syarat untuk melakukan akad, tetapi baligh merupakan syarat bagi berlakunya akad tersebut. Sehingga ketka seorang anak yang mumayyiz melakukan akad ijarah terhadap hartanya, maka akad terebut hukumnya sah, namun untuk melaksanakannya harus menunggu persetujuan walinya.

b.     Syarat pelaksanaan akad

Disyaratkan dalam pelaksanaan ijarah yaitu kepemilikan dan kuasa penuh atas barang yang disewakan.oleh karena itu, ijarah al-fudhuli (ijarah yang dilakukan oleh orang yang tidak memiliki kuasa penuh atau mendapat ijin dari pemilik barang tersebut) atau tidak dapat dilaksanakan.

c.     Syarat sahnya Ijarah

Syarat sah ijarah adalah sebagai berikut:

1.     Kerelaan aqidain, kerelaan ini dapat ditunjukkan degan ijab dan qabul. Karena itu, tidak sah melakukan akad ijarah bagi orang yang dipaksa.

2.     Manfaat yangharus tertentu dan diketahui bersama sehingga mencegah timbulnya perselisiha di antara awidain. Penentuan ini berkaitan dengan barang yang disewakan, manfaat yang didapat dan jangka waktu. Maka tidak sah jika seseorang menyewakan salah satu dari dua rumahnya tanpa menentukan yang manakah yang akan disewakan dari da rumah tersebut. Termasuk dalam upah mengupah/sewa pekerja, pekerjaan juga harus ditentukan secara jelas. Maka ketidakjelasan pekerjaan ini dapat merusak akad ijarah. Ulama berbeda pendapat tentang menentukan pekerjaan sekaligus  jangka waktu. Seperti ketika seseorang mengupah seorang penjahit untuk menjahitkan bajunya dalam satu hari. Imam Hanafi mengatakan akad semacam ini fasid, karena seharusnya akad ijarah untuk pekerjaan hanya didasarkan pada selesainya pekerjaan jangka waktu saja, bukan kedua-duanya. Akan tetapi menurut sebagian pengikut mazhab Hanafi, hal tersebut boleh dilakuka dan tidak merusak akad.

3.     Barang/jasa yang disewakan dapat dimanfaatkan, baik secara nyata maupun secara syar’i. maka tidak sah menyewakan sesuatu yan tidak dapat dimanfaatkan secara nyata, seperti menyewakan rumah yang tidak dapat ditempati, atau tidak dapat dimanfaatkan secara syar’i, sepeti mengupah seorang penyihir untuk mengirim ilmu sihir.

4.     Manfaat yang diakad harus diperbolehkan secara syar’i. maka tidak sah mengupah seseorang untuk minum khamr, diajak berzina, membunuh dan lain-lain.

5.     Pekerjaan yang menjadi objek akad ijarah bukan sesuatu yang memang wajib bagi pemberi jasa sebelum akad ijarah dilakukan, seperti mengerjakan salat fardhu, haji, puasa ramadhan dan lain sebagainya.

6.     Ajir tidak boleh mengambil manfaat dari pekerjaannya.

7.     Manfaat harus yang dimaksudkan dengan akad dan sesuai dengan fungsi ma’qud alaih. Maka tidak sah menyewa pohon untuk dijadikan tempat jemuran atau tempat berteduh, karena itu bukan merupakan fungsi dari pohon.

 

d.     Syarat manfaat

Ada beberpa syarat dari manfaat ma’qud alaih yang harus dipenuhi, yaitu:

a.     Dibolehkan. Maka asesuatu yang dilarang tidak sah menjadi manfaat dalam akad ijarah.

b.     Menerima manfaat melalui mu’awadlah.

c.     Manfaat harus bernilai.

d.     Dimiliki.

e.     Idak mengharuskan memberikan benda, seperti menyewa pohon untuk diambil buahnya.

f.      Dapat diserahkan

g.     Harus benar-benar memberikan manfaat bagi musta’jir. Maka tidak sah mengupah seseorang untuk melaksanakan salat fardhu bagi dirinya.

h.     Diketahui, yakni ada kejelasan mengenai spesifikasi dan kadarnya.

e.     Syarat ujrah

Syarat-syarat ujrah adlah sebagai berikut:

a.     Ujrah harus berupa harta yang berharga dan kadar nilainya diketahui. Maka tidak sah menurut Syafi’iyah apabila mengupah/menyewa seseorang yang dibayar kadar nilainya tidak diketahui. Naun demikian, ulama hanafiyyah memperbolehkan hal tersebut berdasarkan istihsan. Ulama juga berbeda pendapat tentang ujrah yang merupakan bagian dari ma’qud alaih. Jumhur mengatakan bahwa menjadi fasid akad ijarah yang demikian, seperti orang yang menguliti binatang sembelihan kemudian di upah dengan kulit binatang itu dan orang yang enggiling padi kemudia diupah dengan dedak padi yang dihasilkan, sebab kadar nilai dari ujrah tersebut tidak diketahui. Akan tetapi, malikiyyah mengatakan bahwa jika ujrah yang merupakan bagian dari ma’qud alaih dapat diketahui kadar nilaina, maka hal tersebut boleh dilakukan.

b.     Ujrah tidak boleh berupa manfaat yang sejenis dengan ma’qud alaih. Seperti menyewa tempat tinggal dengan ujrah tempat tinggal, menyewa jasa denga ujrah jasa dan menyewa kendaraan dengan ujrah kendaraan. Menurut hanafiyah, syarat ini merupakan cabang dari pelarangan riba. Mereka mengibaratkan satu jenis tersebut pada illat keharaman riba. Tetapi menurut syafi’iyah, illat riba tidak terwujud dengan hanya semata-mata satu jenis, sebab illat riba ada dua, yaitu satu jenis dan barang ribawi. Dengan demikian, ujrah yang sejenis dengan ma’qud alaih adalah diperbolehkan, dan ujrah tidak harus disyaratkan dengan syarat ini.

f.      Ta’liq Akad Ijarah

Sebagaimana tidak sahnya menggantungkan akad jual beli pada sesuatu yang lain, maka demikian jugadengan akad ijarah menurut hanafiyyah. Namun demikian, sah menurut jumhur apabila akad ijarah disandarka pada zaman mustaqbal (masa yang akan datang), atau disandarkan pada tanggungan. Seperti ketika seseorang berkata, “aku tetapkan sebagai tanggunganmu untuk membawakan barang-barang ini ke negara ini pada bulan ini

 

D.     Upah dalam Pekerjaan Ibadah

            Upah adalah perbuatan ibadah (ketaatan) seperti shalat, puasa haji dan membaca Al-Quran dipeselisihkan kebolehannya oleh para ulama, karena berbeda cara pandang terhadap pekerjaan-pekerjaan ini.

            Mazhab Hanafi berpendapat bahwa ijarah dalam perbuatan taat seperti menyewa orang lain untuk shalat, puasa, haji, atau membaca Al-quran yang pahalanya dihadiahkan kepada orang tertentu, seperti kepada arwah ibu bapak yang menyewa, azan, qomat, dan menjadi imam.

            Perbuatan seperti adzan, qamat, shalat haji, puasa, membaca Al-Quran dan zikir tergolong perbuatan untuk taqqarub kepada Allah. Karenanya tidak boleh mengambil upah untuk pekerjaan itu selain dari Allah.

            Hal yang sering terjadi di beberpa daerah di Indonesia, apabila salah seorang muslim meninggal dunia, maka orang-orang yang ditinggal mati (keluarga) memerintah kepada santri atau yang lainnya yang pandai membaca Al-quran di rumah atau di kuburan secara bergantian selama tiga malam bila yang meninggall sudah dewasa dan ada pula bagi orang-orang tertentu mencapai empat puluh malam. Setela selesai pembacaan Al-quan pada waktu yang telah ditentukan, merka dberi upah alakadarnya dari jasanya tersebut.

Pekerjaan seperti itu batal menurut hukum Islam karena yang membaca Al-quran bila bertujuan untuk memperoleh harta maka tak ada pahalanya. Lantas apa yang akan dihadiahkan kepada mayit, sekalipun pembaca Al-quran niat karena Allah, maka tidak bisa diberikan kepada orang lain, karena Allah berfirman dala Quran Surat Al-Baqarah ayat 282, yang artinya “merkea mendapat pahala (dari kebajikan)yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang ia kerjakan.”

            Dijelaskan oleh Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqh Sunnah, para ulama memfatwakan tentang kebolehan mengambil upah yang dianggap sebagai perbuatan baik, seperti para pengajar Al-quran, guru-guru di sekolah dan yang lainnya dibolehkan mengambil upah karena mereka membutuhkan tunjangan untuk dirinya dan orang-orang yang menjadi tanggungannya,mengingat mereka tidak sempat melakukan pekerjaan lain seperti dagang, bertani dan yang lainnya dan waktunya tersita untuk mengajarkan Al-Quran.[6]

E.    Pembayaran Upah dan Sewa

Jika ijarah itu suatu pekerjaan maka kewajiban pembayarannya pada waktu berakhirnya pekerjaan. Bila tidak ada pekerjaan lain, jika akad sudah berlangsung dan tidak disyaratkan mengenai pembayaran dan tidak ada ketentuan penangguhannya, menurut Abu Hanifah wajib diserahkan  upahnya secara berangsur sesuai dengan manfaat yang diterimanya . menurut Imam Syafi’I dan Ahmad sesungguhnya ia berhak dengan akad akad itu sendiri. Jika mu’jir menyerahkan zat benda yang disewa kepada musta’jiria berhak menerima bayarannya karena penyewa ( musta’jir ) sudah menerima kegunaan.

Hak menerima upah bagi musta’jir yaitu:

·       Ketika pekerjaan selesai dikerjakan, beralasan kepada hadist yang diriwayatkan Ibnu Majah, Rasulullah Saw. Bersabda

 

Artinya:” berikanlah upah sebelum keringat pekerja itu kering”

·       Jika menyewa barang, uang sewaan dibayar ketika akad sewa, kecuali bila dalam akad ditentukan lain, manfaat barang yang diijarahkan mengalir selama penyewaan barang berlangsung.[7]

Yusuf Qardhawi mengatakan, sesungguhnya seorang pekerja hanya berhak atas upahnya jika ia telah menunaikan pekerjaannya dengan semestinya dan sesuai dengan kesepakatan, karena umat Islam terikat dengan syarat-syarat antar mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. 20 Dalam kata lain, buruh berhak atas upah setelah menunaikan pekerjaannya, dan pengsusaha wajib membayarkan upah tersebut[8]

F.    Menyewakan Barang Sewaan

Musta’jir dibolehkan menyewakan lagi barang sewaan kepada orang lain dengan syarat penggunaan barang itu sesuai dengan penggunaan yang dijanjikan ketika akad/seperti penyewaan seekor kerbau,ketika akad dinyatakan bahwa kerbau itu disewa untuk  membajak disawah, kemudian kerbau tersebut disewakan lagi dan timbul musta’jir kedua, maka kerbau itu punharus digunakan untuk membajak pula.

Harga penyewaan yang kedua ini bebas-bebas saja, dalam arti boleh lebih besar, lebih kecil,atau seimbang. Bila ada kerusakan pada benda yang disewa, maka yang bertanggung jawab adalah pemilik barang (mu’jir) dengan syarat kecelakaan  itu bukan akibat dari kelalaian musta’jir. Bila kecelakaan atau kerusakan benda yang disewa akibat kelalaian musta’jir maka  yang bertanggung jawab adalah musta’jir itu endiri, misalnya menyewa mobil, kemudian mobil itu hilang dicuri karena disimpan bukan pada tempat yang layak.[9]

Dalam fiqih, menyewakan barang atau benda sewaan hukumnya boleh. Kita tidak dilarang untuk menyewakan barang sewaan kepada orang lain dengan syarat barang tersebut sudah diterima atau akadnya sudah selesai dengan pemilik barang. Sebaliknya, jika belum diterima atau akadnya belum selesai dengan pemilik barang, maka tidak boleh menyewakan barang tersebut.

Dalam kitab al-Mughni, Ibnu Qudamah menyebutkan beberapa ulama yang berpendapat boleh menyewakan barang sewaan. Di antaranya adalah Imam Ahmad, Sa’id bin Musayyab, Ibnu Sirin, Mujahid, Ikrimah, Al-Nakha’i, Al-Tsauri dan Imam Syafii. Ibnu Qudamah berkata;

ﻭﻳﺠﻮﺯ ﻟﻠﻤﺴﺘﺄﺟﺮ ﺃﻥ ﻳﺆﺟﺮ ﺍﻟﻌﻴﻦ ﺍﻟﻤﺴﺘﺄﺟﺮﺓ ﺇﺫﺍ ﻗﺒﻀﻬﺎ ﻧﺺ ﻋﻠﻴﻪ ﺃﺣﻤﺪ . ﻭﻫﻮ ﻗﻮﻝ ﺳﻌﻴﺪ ﺑﻦ ﺍﻟﻤﺴﻴﺐ ، ﻭﺍﺑﻦ ﺳﻴﺮﻳﻦ ، ﻭﻣﺠﺎﻫﺪ ، ﻭﻋﻜﺮﻣﺔ ، ﻭﺃﺑﻲ ﺳﻠﻤﺔ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﺮﺣﻤﻦ ، ﻭﺍﻟﻨﺨﻌﻲ ، ﻭﺍﻟﺸﻌﺒﻲ ، ﻭﺍﻟﺜﻮﺭﻱ ، ﻭﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ﻭﺃﺻﺤﺎﺏ ﺍﻟﺮﺃﻱ

“Boleh bagi orang yang menyewa untuk menyewakan barang sewaan jika sudah menerima barang tersebut. Ini ditegaskan oleh Imam Ahmada, dan juga pendapat dari Sa’id bin Musayyab, Ibnu Sirin, Mujahid, ‘Ikrimah, Abu Salamah bin Abdurrahman, al-Nakha’i, al-Sya’bi, al-Tsauri, al-Syafii dan ashab al-Ra’yi.”

Dalam kitab al-Muhazzab, Imam Syairazi menjelaskan alasan kebolehan menyewakan barang sewaan ini. Menurut beliau, barang sewaan yang sudah diterima atau akadnya sudah selesai dihukumi seperti jual beli. Ketika akad jual beli sudah selesai dilakukan, maka barang hasil transaksi jual beli tersebut boleh dijual. Begitu juga dengan barang sewaan. Setelah selesai akadnya, ia boleh disewakan kepada orang lain.

Imam Syairazi berkata sebagai berikut;

وللمستأجر أن يؤجر العين المستأجرة إذا قبضها لان الإجارة كالبيع وبيع المبيع يجوز بعد القبض فكذلك إجارة المستأجر

“Boleh bagi penyewa untuk menyewakan barang sewaan jika barang tersebut diterima oleh penyewa. Hal ini karena akad sewa seperti akad jual beli. Menjual barang hasil jual beli boleh dilakukan setelah barang itu diterima. Begitu juga boleh menyewakan barang sewaan bagi penyewa.”[10]

G.    Pembatalan dan berakhirnya ijarah

Ijarah adalah jenis akad lazim, yaitu akad yang tidak membolehkan adanya fasakh pada salah satu pihak, karena ijarah merupakan akad pertukaran kecuali bila di dapati hal-hal yang mewajibkan fasakh.

Ijarah akad menjadi batal (fasakh), bila ada hal-hal sebagai berikut:

1.     Terjadinya cacat pada barang sewaan yang terjadi pada tangan penyewa;

2.     Rusaknya barang yang di sewakan, seperti rumah menjadi runtuh dan sebagainya;

3.     Rusaknya barang yang di upahkan (ma'jur 'alaih), seperti baju yang di upahkan untuk di jahitkan;

4.     Terpenuhinya manfaat yang di akadkan, berakhirnya masa yang telah yang di tentukan dan di selesaikan;

5.     Menurut Hanafiyah, boleh fasakh ijarah dari salah satu pihak, seperti yang menyewa untuk dagang, kemudian dagangan nya ada yang mencuri, kemudian ia di bolehkan memfasakhkan sewa itu.[11]

 

H.    Pengembalian sewaan

Jika ijarah telah berakhir, penyewa berkewajiban mengembalikan barang sewaan, jika barang itu dapat dipindahkan, ia wajib menyerahkannya kepada pemiliknya, dan jika bentuk barang sewaan adalah benda tetap ('Iqar), ia wajib menyerahkan kembali dalam keadaan kosong, jika barang sewaan itu tanah, ia wajib menyerahkan kepada pemiliknya dalam keadaan kosong dari tanaman, kecuali bila ada kesulitan untuk menghilangkannya.

Mazhab Hambali berpendapat bahwa ketika ijarah telah berakhir, penyewa harus melepaskan barang sewaan dan tidak ada kematian mengembalikan untuk menyerahterimakannya, seperti barang titipan.[12]