Pertanyaan dan Jawaban Soal Akad Fikih Muamalah

 1.    Pengertian, rukun, asas, dan hukum akad menurut KHES

Pengertian Akad

Akad adalah kesepakatan dalam suatu perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk melakukan dan atau tidak melakukan perbuatan hukum tertentu. (Pasal 20)

Rukun dan Syarat Akad

Rukun akad terdiri atas: (Pasal 22)

a.     pihak-pihak yang berakad;

b.     obyek akad;

c.     tujuan pokok akad; dan

d.     kesepakatan.

Syarat akad terdiri atas :

Pasal 23

1) Pihak-pihak yang berakad adalah orang perseorangan, kelompok orang, persekutuan, atau badan usaha;

(2) Orang yang berakad harus cakap hukum, berakal, dan tam yiz.

Pasal 24

(1) Obyek akad adalah amwal atau jasa yang dihalalkan yang dibutuhkan oleh masing-masing pihak.

(2) Objek akad harus suci, bermanfaat, m ilik sempurna dan dapat diserahterimakan.

Pasal 25

(1) Akad bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan pengembangan usaha masing-masing pihak yang mengadakan akad.

(2) Sighat akad dapat dilakukan dengan jelas, baik secara lisan, tulisan, dan/atau perbuatan.

Asas-asas Akad

Akad dilakukan berdasarkan asas: (Pasal 21)

a. ikhtiyari/sukarela; setiap akad dilakukan atas kehendak para pihak, terhindar dari keterpaksaan karena tekanan salah satu pihak atau pihak lain.

b. amanah/menepati jan ji; setiap akad wajib dilaksanakan oleh para pihak sesuai dengan kesepakatan yang ditetapkan oleh yang bersangkutan dan pada saat yang

sama terhindar dari cidera-janji.

c. ikhtiyati/kehati-hatian; setiap akad dilakukan dengan pertimbangan yang matang dan dilaksanakan secara tepat dan cermat.

d. luzum /tidak berobah; setiap akad dilakukan dengan tujuan yang jelas dan perhitungan yang cermat, sehingga terhindar dari praktik spekulasi atau m aisir.

e. saling menguntungkan; setiap akad dilakukan untuk memenuhi kepentingan para pihak sehingga tercegah dari praktik manipulasi dan merugikan salah satu pihak.

f. taswiyah/kesetaraan; para pihak dalam setiap akad memiliki kedudukan yang setara, dan mempunyai hak dan kewajiban yang seimbang.

g. transparansi; setiap akad dilakukan dengan pertanggungjawaban para pihak secara terbuka.

h. kemampuan; setiap akad dilakukan sesuai dengan kemampuan para pihak, sehingga tidak menjadi beban yang berlebihan bagi yang bersangkutan.

i. taisir/kemudahan; setiap akad dilakukan dengan cara saling memberi kemudahan kepada masing-masing pihak untuk dapat melaksanakannya sesuai dengan kesepakatan.

j. itikad baik; akad dilakukan dalam rangka menegakan kemaslahatan, tidak mengandung unsur jebakan dan perbuatan buruk lainnya.

k. sebab yang halal; tidak bertentangan dengan hukum, tidak dilarang oleh hukum dan tidak haram.

l. Al-hurriyah (kebebasan berkontrak)

m. Al-kitabah (tertulis)

Hukum Akad

Pasal 26

Kategori Hukum Akad, Akad tidak sah apabila bertentangan dengan:

a. syariat islam

b. peraturan perundang-undangan

c. ketertiban umum

d. kesusilaan

Pasal 27

1.   Akad yang sah;

Akad yang sah adalah akad yang rukun dan syarat-syaratnya terpenuhi.

2.   Akad yang fasad/dapat dibatalkan;

Akad yang fasad adalah akad yang rukun dan syarat-syaratnya terpenuhi, tetapi  terdapat segi atau hal lain yang merusak akad tersebut karena pertimbangan maslahat.

3.   Akad yang batal/batal demi hukum;

Akad yang batal adalah akad yang rukun dan/atau syarat-syaratnya kurang.

Referensi : E-Book. Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. Mahkamah Agung Republik Indonesia. Direktorak Jenderal Badan Peradilan Agama, 2011. (https://perpustakaan.mahkamahagung.go.id/assets/resource/ebook/02.pdf diakses pada 22 April 2020)

2.    Konsep fiqh sewa menyewa dan upah-mengupah

Pengertian Ijarah

Ijarah  menurut arti bahasa adalah nama upah. Sedangkan menurut pengertian syara’, Al Ijarah ialah: Suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian.

Dari pengertian di atas terlihat bahwa yang dimaksud dengan sewa menyewa itu adalah pengambilan manfaat sesuatu benda, jadi dalam hal ini bendanya tidak kurang sama sekali, dengan perkataan lain dengan terjadinya peristiwa sewa-menyewa, yang berpindah  hanyalah manfaat dari benda yang disewakan tersebut, dalam hal ini dapat berupa manfaat barang seperti kendaraan, rumah dan manfaat karya seperti pemusik, bahkan dapat juga berupa karya pribadi seperti pekerja.

Dalam syariat Islam, ijarah adalah jenis akad untuk mengambil manfaat dengan kompensasi. Ada beberapa definisi yang dikemukakan para ulama:

 a. Ulama Mazhab Hanafi mendefinisikan ijarah sebagai transaksi terhadap suatu manfaat dengan suatu imbalan.

 b. Ulama Mazhab Syafi’i mendefinisikannya sebagai transaksi terhadap manfaat yang dituju, tertentu bersifat bisa dimanfaatkan, dengan suatu imbalan tertentu.

 c. Ulama Malikiyah dan Hanbaliyah mendefinisikannya sebagai pemilikan manfaat sesuatu yang dibolehkan dalam waktu tertentu dengan suatu imbalan.

Dasar Hukum Ijarah

Al-ijarah dalam bentuk sewa menyewa maupun dalam bentuk upah mengupah merupakan muamalah yang telah disyariatkan dalam Islam. Hukum asalnya menurut Jumhur Ulama adalah mubah atau boleh bila dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh syara’ berdasarkan ayat al-Qur’an, hadishadis Nabi dan ketetapan Ijma Ulama.

Adapun dasar hukum tentang kebolehan al-ijarah dalam al-Quran terdapat dalam beberapa ayat diantaranya firman Allah antara lain:

1. Surat at-Thalaq ayat 6:

أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ ۚ وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّىٰ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ ۚ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ ۖ وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوفٍ ۖ وَإِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَىٰ

”Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.”

2. Surat al-Qashash ayat 26:

قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ ۖ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ

“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya"

Rukun Ijarah

Ijarah meupakan sebuah transaksi atas suatu manfaat. Dalam hal ini, manfaat menjadi obyek manfaat transaksi. Dari segi ini, ijarah dapat dibedakan menjadi dua. Pertama, ijarah yang mentransaksikan manfaat harta benda yang lazim disebut persewaan. Misalnya menyewa rumah, pertokoan, kendaraan, danlain sebagainya. Kedua, ijarah yang mentransaksikan manfaat SDM (Sumber Daya Manusia) yang lazim disebut perburuhan.

Rukun dari ijarah sebagai suatu transaksi adalah akad atau perjanjian kedua belah pihak, yang menunjukkan bahwa transaksi itu telah berjalan secara suka sama suka. Adapun unsur yang terlibat dalam transaksi ijarah itu adalah:

a.     Orang yang menggunakan jasa, baik dalam bentuk tenaga atau benda yang kemudian memberikan upah atas jasa tenaga atau sewa dari jasa benda yang digunakan, disebut pengguna jasa (mūjir)

b.     Orang yang memberikan, baik dengan tenaganya atau dengan alat yang dimilikinya, yang kemudian menerima upah dari tenaganya atau sewa dari benda yang dimilikinya, disebut pemberi jasa atau (musta’jir )

c.     Objek transaksi yaitu jasa, baik dalam bentuk tenaga atau benda yang digunakan disebut (ma’jur)

d.     Imbalan atau jasa yang diberikan disebut upah atau sewa (ujrah)

Menurut ulama mazhab Hanafi rukun ijarah hanya ada satu, yaitu ijab dan qabul.Sedangkan jumhur ulama berpendapat, bahwa rukun ijarah itu ada empat, sebagai berikut:

a.     ‘Aqid (orang yang akad) ‘Aqid adalah orang yang melakukan perjanjian/transaksi, yaitu orang yang menyewakan (mu’jir) dan orang yang menyewa (musta’jir).

b.     Sigat akad Sigat akad adalah pernyataan yang menunjukkan kerelaan atau kesepakatan dua pihak yang melakukan kontrak atau transaksi.

c.     Ujrah (upah) Ujrah adalah member imbalan sebagai bayaran kepada seseorang yang telah diperintah untuk mengerjakan sesuatu pekerjaan tertentu dan bayaran itu diberikan menurut perjanjian yang telah disepakati bersama.

d.     Manfaat.

Di dalam pasal 251 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, rukun ijarah adalah:

a.     Pihak yang menyewa

b.     Pihak yang menyewakan

c.     Benda yang diijarahkan

d.     Akad

Syarat ijarah

Supaya transaksi ijarah itu bisa dianggap sah, maka ada beberapa syarat yang mengiringi beberapa rukun yang harus dipenuhi. Syarat-syarat tersebut meliputi:

a.     ‘Aqid Kedua belah pihak yang melakukan akad disyaratkan memiliki kemampuan, yaitu berakal dan dapat membedakan (baik dan buruk). Jika salah satu pihak adalah orang gila atau anak kecil, akadnya dianggap tidak sah. Para penganut Mazhab Syafi’i dan Hambali menambah syarat lain, yaitu baligh. Jadi, menurut mereka, akad anak kecil meski sudah tamyiz, dinyatakan tidak sah jika belum balig.

b.     Sigat akad antara mu’jir dan musta’jir Syarat sah sigat akad dapat dilakukan dengan lafad atau ucapan dengan tujuan orang yang melakukan perjanjian atau transaksi dapat dimengerti. Berkaitan dengan hal tersebut umum dilakukan dalam semua akad, karena yang dijadikan pedoman dalam ijab qabul adalah sesuatu yang dapat dipahami oleh dua orang yang melakukan akad sehingga tidak menimbulkan keraguan dan pertentangan.Selain itu, ketentuan umum yang ada dan menjadi pedoman hukum apabila perkataan yang dinyatakan adalah sesuai dengan niat dan kehendak dalam hati yang dinamakan sigat yang dapat dilakukan dengan secara lisan, tulisan dan isyarat yang memberikan yang jelas tentang adanya ijab qabul.

c.     Ujrah (upah) Para ulama telah menetapkan syarat upah, yaitu: pertama, berupa harta tetap yang dapat diketahui. Kedua, tidak boleh sejenis dengan barang manfaat dari ijarah, seperti upah menyewa rumah untuk ditempati denganmenempati rumah tersebut. Upah (ujrah) dapat digolongkan menjadi 2, yaitu:

1.     Upah yang telah disebutkan (ajr al-musamma), yaitu upah yang telah disebutkan pada awal transaksi, syaratnya adalah ketika disebutkan harus disertai adanya kerelaan (diterima oleh kedua belah pihak).

2.     Upah yang sepadan (ajr al-mili) adalah upah yang sepadan dengan kerjanya serta sepadan dengan kondisi pekerjaannya. Maksudnya adalah harta yang dituntut sebagai kompensasi dalam suatu transaksi yang sejenis pada umumnya.

3.    Konsep qiradh/ mudha-rabah

   Kata ”al-mudharabat” bersepadan dengan dua kata bahasa Arab Iainya, yaitu al-qiradh atau aI-muqaradat, dan al-muamalat. Ketiga kata ini tidak memiliki perbedaan makna yang essensial, tetapi yang paling banyak disebut dalam literatur fiqih muamalah adalah al-mudha’rabat dan al-qiradh. Perebedaan penyebutan ketiga kata ini karena faktor geografis. Term ”al-mudharabat dipergunakan oleh ahli ilmu fiqih di wilayah provinsi irak, sementara term ”al-qiradh dan al-muqradat diperkenalakan oleh ulama fiqih yang berdomisili di daerah semenanjung Arabia, khususnya di Hijaz.

Al-qiradh atau al-muqaradat maknanya al-qath’ (potongan atau bagian). Disebut demikian karena pemilik harta menyerahkan sebagian hartanya kepada pihak lain untuk diperdagangkan dan keuntungan dibagi bersama sesuai kesepakatan. Kebisaan ini mengacu kepada praktik ‘Utsman bin Affan yang pernah menyerahkan modal kepada seseorang untuk diperdagangkan. Adapun makna al-mu’amalat dalam pengertian ini ialah transaksi antara dua pihak; pihak pertama menyerahkan modal secara tunai kepada pihak kedua untuk diperdagangkan dan keuntungan dibagi sesuai kesepakatan.

Sumber Hukum

1.     Al –Quran :

Di dalam Al – Quran sudah dijelaskan mengenai sumber hukum dari Mudharabah yang dijelaskan dalam beberapa  ayat dalam surat al – quran diantaranya  adalah :

Q. S Al – Jumu’ah / 62 : 10

فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

 “ Apabila telah ditunaikan sembahyang maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah SWT “.

2.     Al Hadist

“Diriwayatkan dari ibnu abbas  bahwa sayyidina Abbas bin Abdul Muthalib jika memberikan sana ke mitra usahanya secara mudharabah ia mensyratkan agar dannaya tidak dibawa mengarungi lautan, menuruni lembah yang berbahaya, atau membeli ternaak. Jika menyalahi pertauran tersebut, yang bersangkutan bertanggung jawab atas dana tersebut. Disampaikanlah syarat – syarat tersebut kepada Rasulullah SAW. Dan Rasulullah pun memperbolehkannya “ ( HR Thabrani )

“Dari Shalih bin Shuhaib r.a bahwa Rasulullah SAW bersabda “ tiga hal di dalamnya terdapat keterkaitan : jual beli secara tangguh, muqharadah (mudharabah), dan meancampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah bukan untuk di jual “ (HR Ibnu Majah no. 2280, kitab at – Tijarah).

3.     Ijma

Diantara ijma mudharabah adanya riwayat yang menyatakan bahwa Jemaah dari sahabat menggunakan harta anak yatim untuk mudharabah, perbuatan tersebut tidak ditentang oleh sahabat lainnya.

4.     Qiyas

Mudharabah diqiyaskan kepada al – musyaqoh ( menyuruh seorang untuk mengelola kebun ) selai diantara manusia ada yang miskin ada pula yang kaya, disisi lain banyak orang kaya yang tidak dapat mengusahakan hartanya, disisis lain  tidak sedikit orang miskin yang mau bekerja, tetapi  tidak memiliki modal. Dengan demikian adanya mudhrabah ditunjukan antara lain untuk memenuhi kebutuhan kedua

Jenis mudharabah

Dilihat dari segi transaksi yang dilakukan pemiik modal dengan pekerja, para ulama fiqih membagi akad mudharabah menjadi dua bentuk, yaitu:

1.         Mudharabah Muthlaqah

Mudharabah Muthlaqah adalah bentuk kerjasama antara pemilik dana dan pengelola tanpa adanya pembatasan oleh pemilik dana dalam pengelolaan investasi. Disebut juga investasi tidak terikat. Mudharabah mutlaqah yaitu penyerahan modal tanpa syarat. Pengusaha atau mudharib bebas mengelola modal itu dengan usaha apa saja yang menurutnya akan mendatangkan keuntungan dan di daerah mana saja yang mereka inginkan. Dalam bank teknik mudharabah mutlaqah adalah kerjasama antara bank bank dengan mudharib atau nasabah yang mempunyai keahlian atau keterampilan untuk mengelola suatu usaha yang produktif dan halal. Hasil keuntungan dari penggunaan dana tersebut dibagi bersama berdasarkan nisbah yang disepakati.

2.      Mudharabah Muqayyadah

Mudharabah Muqayyadah adalah bentuk kerjasama antara pemilik dana dan pengelola, dengan kondisi pengelola dikenakan pembatasan oleh pemilik dana dalam hal tempat, cara, dan/atau objek investasi (PSAK par 07). Disebut juga dengan investasi terikat.

Mudharabah muqayyadah yaitu penyerahan modal dengan syarat-syarat tertentu. Dalam akad dicantumkan bahwa modal tersebut hanya untuk usaha yang telah ditentukan (terikat pada usaha tertentu). Pengusaha atau nasabah harus mengikuti syarat-syarat yang dikemukakan oleh pemilik modal, selain dari syarat-syarat yang dikemukakan maka dana shahibul maal tidak diperkenankan untuk dipakai. Dalam teknis perbankan yang dimaksudkan dengan mudharabah muqayyadah adalah akad kerja sama antara shahibul maal dengan bank. Modal yang diterima, dikelola oleh bank untuk diinvestasikan dalam proyek yang sudah ditentukan oleh shahibul maal. Pembagian bagi hasil keuntungan dilakukan sesuai nisbah yang disepakati bersama, diantara pihak-pihak yang terlibat dalam kerja sama tersebut.

Rukun dan Syarat Mudharabah

Secara umum, jumhur ulama’ menyatakan bahwa rukun dan syarat mudharabahterdiri atas:

1.      Ijab dan qabul

Ijab dan Qabul yaitu persetujuan kedua belah pihak, merupakan konsekuensi dari prinsip antaradhin minkum (sama-sama rela). Disini kedua belah pihak secara rela bersepakat untuk mengikatkan diri dalam akad mudharabah.

2.      Dua orang yang melakukan kerjasama (al-’Aqidain)

Dalam akad mudharabahharus ada mininmal dua pelaku. Pihak pertama bertindak sebagai pemilik modal (Shahib al-mal), sedangkan pihak kedua bertindak sebagai pelaksana usaha (Mudharib atau ‘Amil). Tanpa dua pelaku ini, maka akad mudharabahtidak ada

3.      Adanya modal, adapun dalam modal di syaratkan (Muhammad, 2005: 62-64):

a.   Modal harus jelas jumlah dan jenisnya dan diketahui oleh kedua belah pihak pada waktu dibuatnya akad mudharabahsehingga tidak menimbulkan sengketa dalam pembagian laba karena ketidakjelasan jumlah.

b.   Harus berupa uang (bukan barang). Mengenai modal harus berupa uang dan tidak boleh berupa barang adalah pendapat mayoritas ulama’. Mereka beralasan mudharabahdengan barang dapat menimbulkan kesamaran.

4.        Nisbah keuntungan

Nisbah ini mencerminkan imbalan yang berhak diterima oleh kedua pihak yang bermudharabah. Mudharib mendapatkan imbalan atas kerjanya, sedangkan shahib al-mal mendapat imbalan atas penyertaan modalnya.Nisbah keuntungan inilah yang akan mencegah terjadinya perselisihan antara kedua belah pihak mengenaicara pembagian keuntungan.

.4. Konsep Syirkah

            Pengertian Syirkah

Syirkah menurut bahasa berarti al-ikhtilath yang artinya campur atau percampuran. Maksud percampuran disini adalah seseorang mencampurkan hartanya dengan harta orang lain sehingga tidak mungkin untuk dibedakan. Menurut defenisi syariah, syirkah adalah transaksi antara dua orang atau lebih yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha finanssial dengan tujuan mencarikeuntungan

Menurut ahli fiqih Hanafiyah, syirkah adalah akal antara pihak-pihak yang berserikat dalam hal modal dan kentungan. Menurut ahli fiqih Malikiyah, syirkah adalan kebolehan (atau izn) bertasharruf bagi masing-masing pihak yang berserikat. Maksudnya masing-masing pihak saling memberikan izin kepada pihak lain dalam mentasharrufkan harta (obyek) syirkah. Menurut ahli fiqih Syafi'ıyyah, syirkah adalah berlakunya hak atas sesuatu bagi dua pihak atau lebih dengan tujum persekutuan.

Setelah diketahui definisi-definisi syirkah menurut para ulama kiranya dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan syirkah adalah kerjasama antara dua orang atau lebih dalam berusaha, yang keuntungan dan kerugiannya ditanggung bersama.

Dasar Hukum Syirkah

Pada dasarnya hukum syirkah adalah mubah atau boleh. Hal ini ditunjukkan oleh dibiarkannya praktik syirkah oleh baginda Rasulullah yang dilakukan masyarakat Islam saat itu. Beberapa dalil Al-Quran dan hadist yang menerangkan tentang syirkah antara lain:

قَالَ لَقَدْ ظَلَمَكَ بِسُؤَالِ نَعْجَتِكَ إِلَىٰ نِعَاجِهِۦ ۖ وَإِنَّ كَثِيرًا مِّنَ لْخُلَطَآءِ لَيَبْغِى بَعْضُهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَقَلِيلٌ مَّا هُمْ ۗ وَظَنَّ دَاوُۥدُ أَنَّمَا فَتَنَّٰهُ فَٱسْتَغْفَرَ رَبَّهُۥ وَخَرَّ رَاكِعًا وَأَنَابَ

Daud berkata, “Sesungguhnya Dia telah berbuat  zalim kepadamu dengan meminta kambingmu itu untuk  ditambahkan kepada kambingnya. dan Sesungguhnya  kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu  sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian  yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan  mengerjakan amal yang saleh; dan Amat sedikitlah  mereka ini". dan Daud mengetahui bahwa Kami  mengujinya; Maka ia meminta ampun kepada Tuhannya  lalu menyungkur sujud dan bertaubat.” (QS Shad ayat  24)

Rukun Syirkah

Rukun syirkah ada 3, yaitu:

a.     Adanya orang yang bersyirkah.

Yaitu sedikitnya terdiri dari dua orang, sedang banyaknya tidak terbatas.

b.     Adanya sesuatu yang disyirkahkan

Harus terdiri dari sesuatu yang jelas dan merupakan sesuatu yang menjadi kemauan mereka serta yang dapat dilakukan atau dikerjakan oleh masing-masing.

c.      Adanya Shighat

Yaitu kalimat akad yang diucapkan oleh orang-orang yang sama bersyirkah sebagai pernyataan persetujuan adanya syirkah itu sehingga terdapat rasa saling percaya mempercayai.

Syarat Syirkah

a.     Modal harus jelas ukurannya baik timbangannya maupun hitungannya.

b.     Bila modal itu terdapat dua jenis, maka harus terdiri dari sesuatu yang dapat di campur sehingga tidak dapat dipisah-pisahkan lagi setelah dicampur.

c.     Orang yang bersyirkah itu harus terdiri dari orang yang sudah baliqh dan berakal.

d.     Peraturannya harus jelas, sehingga keuntungan dan kerugian sama-sama dirasakan.

Sedangkan mengenai barang modal disertakan dalam serikat, hendaklah berupa:

a.      Barang modal yang dapat dihargai (lazimnya selalu disebutkan dalam bentuk uang.

b.      Modal yang disertakan oleh masing-masing persero dijadikan satu, yaitu menjadi harta perseroan, dan tidak dipersoalkan lagi dari mana asal-usul modal itu.

Macam-macam Syirkah

a.     Syirkah Amlak

Sirkah amlak adalah beberapa orang memiliki secara bersama-sama sesuatu barang, pemilikan secara bersama-sama atas sesuatu barang tersebut bukan disebabkan adanya perjanjian diantara para pihak (tanpa ada akad/ perjanjian terlebih dahulu), misalnya pemilikan harta secara bersama-sama yang disebabkan/ diperoleh karena pewarisan.

b.     Syirkah Uqud

Sirkah uqud terbentuk disebabkan para pihak memang sengaja melakukan perjanjian untuk bekerja bersama/ bergabung dalam suatu kepentingan harta (dalam bentuk penyertaan modal) dan didirikannya serikat tersebut bertujuan untuk memperoleh keuntungan dalam bentuk harta.

Akad Syirkah

Secara khusus akad Syirkah diklasifikasikan menjadi empat jenis yaitu:

a.     Syirkah ‘Inan.

‘Inan adalah serikat harta yang mana bentuknya adalah serupa: “akad” dari dua orang atau lebih berserikat harta yang ditentukan oleh keduanya dengan maksud mendapat keuntungan, dan keuntungan itu untuk mereka yang berserikat, misalnya Perseroan terbatas (PT) CV, Firma, koperasi.

b.     Syirkah Mufawadhah

Syirkah Mufawadhah ini dapat diartikan sebagai serikat untuk melakukan negosiasi, dalam hal ini tentunya untuk melakukan suatu pekarjaan atau urusan, yang dalam istilah sehari-sehari sering digunakan istilah partner kerja atau group. Dalam serikat ini pada dasarnya bukan dalam bentuk permodalan, tapi lebih ditekankan kepada keahlian, misalnya Assosiasi-assosiasi atau group yang di bentuk oleh para penasihat hukum seperti kantor pengacara dan penasihat hukum Muh. Iqbal, lubis, SH dan partner.

c.     Syirkah Wujuh

Sirkah Wujuh ini berbeda dengan serikat yang dikemukakan diatas. Dalam serikat ini yang dihimpun bukan modal dalam bentuk uang atau skill, akan tetapi dalam bentuk “tanggung Jawab” dan tidak ada sama sekali keahlian atau modal uang. Misalnya dua orang atau lebih membeli sesuatu tanpa permodalan yang ada hanyalah berpegang kepada nama baik mereka dalam dunia bisnis, karena prestasi atau profesionalisme kerjanya. contohnya dipersamakan dengan komisioner, keagenan, perantara.

d.     Syirkah abdan

Syirkah abdan adalah bentuk kerjasama untuk melkukan sesuatu yang bersifat karya. Dengan mereka melakukan karya tersebut mereka mendapat upah dan mereka membaginya sesuai dengan kesepakatan yang telah mereka lakukan, dengan demikian dapat dikatakan serikat untuk melakukan pemborongan. misalnya tukang kayu, tukang batu, tukang besi berserikat untuk melakukan pekerjaan membangun gedung.

5.    Konsep muzara'ah, mukhabarah, musaqah dan mugharasah

Pengertian Muzara’ah

Muzara’ah adalah kerjasama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap, di mana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu (presentase) dari hasil panen.

 Secara etimologi, muzara’ah berarti kerjasama antara pihak pemilik tanah dan petani penggarap. Secara terminologi, terdapat beberapa definisi muzara’ah yang dikemukakan ulama fiqh.

a)   Menurut mazhab Hanafi

Muzāra’ah menurut pengertian syara’ ialah suatu akad perjanjian, pengelolaan tanah dengan memperoleh hasil sebagian dari penghasilan Tanah itu.

b)   Menurut mazhab Maliki

Muzāra’ah menurut pengertian syara’ ialah persekutuan dalam satu akad Perjanjian.

Dasar Hukum Muzara’ah

          Kerja sama dalam bentuk muzara’ah menurut kebanyakan ulama fiqh hukumnya mubah (boleh).Dasar kebolehannya itu, disamping dapat dipahami dan keumuman firman Allah yang menyuruh saling menolong, antara lain sebagai berikut:

عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيْجِ قَالَ كُنَّااَكْثَرَاْلاَنْصَارِ حَقْلاً فَكُنَّا نُكْرِىاْلاَرْضَ عَلَى اَنَّ لَنَا هَذِهِ فَرُبَمَا أَخْرَجَتْ هَذِهِ وَلَمْ تُخْرِجْ هَذِهِ فَنَهَانَاعَنْ ذَلِكَ

“berkata rafi’ bin khadij : “diantara anshar yang sangat banyak memiliki tanah yaitu kami, maka kami persewakan, beberapa tanah buat kami serta beberapa tanah buat mereka yang mengerjakannya, terkadang beberapa tanah itu sukses baik serta yang lain tidak sukses, maka oleh sebab itu raulullah saw. melarang paroan lewat cara demikianlah ( HR. bukhari )”

Zakat Muzara’ah dan Mukhabarah

          Pada prinsipnya ketentuan wajib zakat itu itu dibebankan kepada orang yang mampu.Dalam arti telah mempunyai hasil pertanian yang wajib dizakati (jika telah sampai batas nisab). Maka dalam kerja sama ini salah satu atau keduanya ( pemilik sawah atau ladang dan penggarap) membayar zakat bila telah sampai nisab.

          Jika dipandang dari siapa asal benih tanaman, maka dalam muzara’ah yang wajib zakat adalah pemilik tanah, karena dialah yang menanam, sedangkan penggarap hanya mengambil upah kerja. Dalam mukhabarah  yang wajib zakat adalah penggarap (petani), karena dialah hakikatnya yang menanam, sedangkan pemilik tanah seolah-olah mengambil sewa tanahnya. Jika benih berasal dari keduanya, maka zakat diwajibkan bagi keduanya jika sudah senisab, sebelum pendapatan dibagi dua.

          Menurut Yusuf Qardawi, bila pemilik itu menyerahkan penggarapan tanahnya kepada orang lain dengan imbalan seperempat, sepertiga, atau setengah hasil sesuai dengan perjanjian, maka zakat dikenakan atas kedua bagian atas pendapatan masing-masing bila cukup senisab. Bila bagian salah seorang cukup nisab, sedangkan yang seorang lagi tidak, maka zakat wajib atas yang memiliki bagian yang cukup senisab, sedangkan yang tidak cukup senisab tidak wajib zakat.

Perbedaan Muzara’ah, Mukhabarah

1.       Muzara’ah

Mengerjakan tanah (orang lain) dengan sebagian hasilnya dan biaya pengerjaan ditanggung pemilik tanah. Hukum dari muzara’ah diperselisihkan ada yang membolehkan dan ada yang tidak membolehkannnya. Pihak-pihak yang membolehkan beralasan pada hadis yang menyatakan bahwa Nabi Saw memberikan hasil tanah Khaibar kepada orang-orang yahudi. Khaibar yang membolehkan seperti Imam Syafi’I pendapatnya dikuatkan dengan kenyataan diberbagai daerah orang-orang Islam dimana mereka menjalankan muzara’ah dan tidak menolaknya. Sedangkan pihak yang tidak membolehkannya seperti Imam Khuzaimah dengan alasan bahwa Nabi Saw menyuruh untuk memberi upah tidak muzara’ah.

2.       Mukhabarah

Mengerjakan tanah dengan hasilnya dan biaya pengerjaan ditanggung orang yang mengerjakan. Muzara’ah sering diidentikkan dengan mukhabarah diantara keduanya terdapat sedikit perbedaan sebagau berikut:

1.     Muzara’ah : benih dari pemilik tanah

2.     Mukhabarah : benih dari penggarap.

Rukun Muzara’ah

Jumhur ulama yang memperbolehkan akad muzara’ah mengemukakan rukun dan syarat yang harus dipenuhi, sehingga akad dianggap sah. Rukun muzara’ah menurut mereka adalah:

a.     Pemilik lahan

b.     Petani penggarap

c.     Objek muzara’ah, yaitu antara manfaat lahan dan hasil kerja petani

d.     Ijab (ungkapan penyerahan lahan dari pemilik lahan) dan qabul (pernyataan menerima lahan untuk diolah oleh petani).

Ijab dalam definisi akad adalah ungkapan atau pernyataan kehendak melakukan perikatan (akad) oleh suatu pihak, biasanya disebut sebagai pihak pertama. Sedangkan qabul adalah pernyataan atau ungkapan yang menggambarkan kehendap pihak lain biasanya dinamakan pihak kedua, menerima atau menyetujui pernyataan ijab. Ijab dan qabul dinamakan sighat aqdi atau perkataan yang menunjukkan pada kehendak kedua belah pihak. Sighat aqdi memerlukan tiga urusan pokok, yaitu:

1.     Harus terang pengertiannya.

2.      Harus bersesuaian antara ijab dan qabul.

3.     Menggambarkan kesungguhan, kemauan dari pihak-pihak yang bersangkutan.

Secara sederhana ijab dan qabul cukup dengan lisan saja. Namun sebaiknya dapat dituangkan ke dalam surat perjanjian yang disetujui kedua belah pihak, termasuk bagi hasil kerjasama tersebut.

Ulama Hanabilah berpendapat bahwa muzara’ah tidak memerlukan qabul secara lafadz, tetapi cukup hanya dengan mengerjakan tanah, itu sudah termasuk qabul. 

Sifat akad muzara’ah menurut ulama Hanafiyah adalah sifat-sifat perkongsian yang tidak lazim. Adapun penadapat ulama Malikiyah harus menabur benih di atas tanah supaya tumbuh tanaman atau dengan menanam tumbuhan di atas tanah yang tidak ada bijinya. Menurut pendapat yang paling kuat, perkongsian harta termasuk muzara’ah dan harus menggunakan sighat.

Syarat-syarat Muzara’ah

Syarat-syarat muzara’ah menurut jumhur ulama’ adalah ada yang menyangkut orang yang berakad, benih yang akan ditanam, lahan yang akan dikerjakan, hasil yang akan dipanen, dan menyangkut jangka waktu berlakunya akad. Untuk orang yang melakukan akad disyaratkan bahwa keduanya harus telah baligh dan berakal, akan tetapi dalam pasal 1433 KUHPI disebutkan bahwa mereka tidak perlu harus sudah dewasa. Artinya seorang anak muda yang sudah diberi izin, bisa juga melakukan akad kerjasama dalam lahan pertanian. Pendapat lain dari kalangan madzhab hanafi menambahkan bahwa salah seorang atau keduanya bukan orang yang murtad. Akan tetapi Imam Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani tidak menyetujui syarat tambahan ini. Karena menurut mereka akad muzara’ah boleh dilakukan antara orang muslim dan non muslim termasuk orang murtad. Syarat yang menyangkut benih yang ditanam harus jelas, sehingga sesuai dengan kebiasaan tanah itu, benih yang ditanam itu jelas dan menghasilkan

            Adapun syarat yang menyangkut lahan pertanian adalah:

a.     Menurut adat di kalangan para petani lahan itu bisa diolah dan menghasilkan.

b.     Batas-batas lahan itu jelas.

c.     Lahan itu diserahkan kepada petani untuk diolah. Apabila disyaratkan pemilik lahan ikut mengolah lahan pertanian itu, maka akad muzara’ah tidak sah.

Syarat-syarat yang menyangkut hasil panen adalah sebagai berikut:

a.     Pembagian panen untuk masing-masing pihak harus jelas.

b.     Hasil itu benar-benar milik bersama orang yang berakad, tanpa ada pengkhususan.

c.     Pembagian hasil panen itu ditentukan dari awal akad (setengah, seperempat, sepertiga, dan lain-lain).

Pengertian Musaqah

secara bahasa, musaqah adalah salah stu bentuk penyiraman, penduduk Madinah menyebutnya dengan istilah muamalah. Menurut istilah, al-musaqah didefinisikan oleh para ulama, sebagimana dikemukakan oleh abdurahman al-Jaziri, sebagai berikut:

Akad untuk pemeliharaan phon kurma, tanaman (pertanian) dan yang lainnya dengan syarat-syarat tertentu”.

Menurut Malikiyah, al-musaqah ialah sesuatu yang tumbuh ditanah. Yaitu dibagi menjadi lima macam:

1.     Pohon-pohon tersebut berakar kuat (tetap) dan berbuah. Buah itu dipetik serta pohon tersebut tetap ada dengan waktu yang lama, misalnya pohon anggur dan zaitun.

2.     Pohon-pohon tersebut berakar tetap, tetapi tidak berbuah seperti pohon kayu keras, karet, dan jati.

3.     Pohon-pohon tersebut tidak berakar kuat, tetapi berbuah dan dapat dipetik.

4.     Pohon-pohon tersebut tidak berakar kuat dan tidak ada buahnya yang dapat dipetik, tetapi memilikiki kembang yang bermanfaat, seperti bunga mawar.

5.     Pohon-pohon yang diambil hijau dan basahnya sebagai suatu manfaat, bukan buahnya, seperti tanaman hias yang ditanam di halaman rumah dan di tempat lainnya.

Pengertian Mugharasah

Secara etimologi, al-mugharasah berarti transaksi terhadap pohon. Secara terminologi fiqh, al-mugharasah didefinisikan para ulama fiqh dengan:

أَنْ يَدْفَعَ الرَّجُلُ أَرْضَهُ لِمَنْ يَعْرُسُ فِيْهَا شَجَرًا

Penyerahan tanah pertanian kepada petani untuk ditanami atau sebagaimana yang didefinisikan ulama Syafi’iyah dengan:

أَنْ ييُسْلِمَ أِلَيْهِ أَرْضًا لِييَغْرُسَهَا مَنْ عِنْدَهُ وَالشَّجَرُ بَيْنَهُمَا

Penyerahan tanah pertanian kepada petani yang pakar di bidang pertanian, sedangkan pohon yang ditanam menjadi milik berdua (pemilik tanah dan petani). Masyarakat Syam menamakannya dengan al-munashabah (parohan), karena tanah yang telah digarap menjadi milik mereka secara bersama-sama dan masing-masing pihak mendapatkan bagian separoh.

Dasar HukumMusaqah dan Mugharasah

Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu 'anhuma:

أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَلَ أَهْلَ خَيْبَرَ عَلَى مَا يَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍ أَوْ زَرْعٍ.

“Bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh penduduk Khaibar untuk menggarap lahan di Khaibar dengan imbalan separuh dari tanaman atau buah-buahan hasil garapan lahan tersebut.” [1]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu a'nhu, ia berkata:

قَالَتِ َاْلأَنْصَارُ لِلنَّبِيِّ: صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اقْسِمْ بَيْنَنَا وَبَيْنَ إِخْوَانِنَا النَّخِيلَ قَالَ لاَ فَقَالُوا تَكْفُونَا الْمَئُونَةَ وَنَشْرَكْكُمْ فِي الثَّمَرَةِ قَالُوا: سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا.

“Orang-orang Anshar berkata kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bagilah pohon kurma antara kami dan sahabat-sahabat kami. Beliau menjawab, ‘Tidak.’ Maka mereka berkata, ‘Kalian yang merawatnya dan kami bagi buahnya bersama kalian.’ Maka, mereka menjawab, ‘Kami mendengar dan kami taat.’”

Dasar hukum yang digunakan para ulama dalam menetapkan hukum musaqah adalah:

a.     Dari Ibnu Umar: “Sesungguhnya Nabi SAW. Telah memberikan kebun kepada penduduk khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian mereka akan diberi sebagian dari penghasilan, baik dari buah – buahan maupun dari hasil pertahun (palawija)” (H.R Muslim).

b.     Dari Ibnu Umar: ” Bahwa Rasulullah SAW telah menyerahkan pohon kurma dan tanahnya kepada orang-orang yahudi Khaibar agar mereka mengerjakannya dari harta mereka, dan Rasulullah SAW mendapatkan setengah dari buahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

6. Konsep qardh dan ‘ariyah

Pengertian Qardh

Qardh secara Bahasa berarti qath’ (potongan), di mana harta diletakkan kepada peminjam sebagai pinjaman, karena muqridh (pemberi pinjaman) memotong sebagian harta. Sedangkan secara istilah, menurut Hanafiyah, qardh berarti sesuatu yang diberikan seseorang dari harta mitsli untuk memenuhi kebutuhannya. Qardh juga berarti akad tertentu dengan membayarkan harta mitsli kepada orang lain supaya membayar harta yang sama kepadanya.

Rukun dan Syarat

Rukun Qard ada empat, yaitu:

1. Sighat (ijab qabul/serah terima)

2. Objek akad/ Muqtarad (barang yang dipinjamkan)

3. Pelaku akad, yang terdiri atas pemberi pinjaman (Muqrid), serta,

4. Penerima pinjaman (Muqtarid)[1]

Syarat Qard:

1.     Mengenai sighat-nya maka bisa menggunakan lafal qardh atau salaf karena keduanya digunakan dalam lafal syariat. Dibolehkan juga dengan lafal yang semakna dengan keduanya seperti kata-kata. “Mallaktuka hazȧ  ‘ala an tarudda alayya badalahu (aku berikan kepemilikan harta ini kepadamu dengan syarat kamu mengembalikan gantinya kepadaku).”[2] Dengan kata lain sighat atau ijab qabul merupakan kesepakatan antara peminjam dengan pemberi pinjaman.

2.     Syarat Muqrid (pemberi hutang) harus memenuhi kriteria:

a.     Ahliyat at-Tabarru’ (layak bersosial). Maksudnya adalah orang yang mempunyai hak atau kecakapan dalam menggunakan hartanya secara mutlaq menurut pandangan syariat. Contoh: orang dewasa yang tidak menggunakan hartanya untuk sesuatu yang tidak bermanfaat dan hal-hal yang dilarang syariat, semisal membeli minuman keras, narkoba dan lain sebagainya. Menurut syari’at, anak kecil, orang gila, dan hamba sahaya (budak) tidak berhak untuk membelanjakan hartanya (bukan termasuk ahliyat at-Tabarru’).

b.     Ikhtiyar (tanpa ada paksaan). Muqrid (pihak pemberi hutang) di dalam memberikan hutangan, harus berdasarkan kehendaknya sendiri, tidak ada tekanan dari pihak lain atau intervensi dari pihak ketiga.

3.     Syarat Muqtarid (pihak yang berhutang)

Muqtarid (pihak yang berhutang) harus yang merupakan orang yang ahliyah mu’amalah. Maksudnya ia sudah baligh, berakal waras, dan tidak mahjur (bukan orang yang oleh syariat tidak diperkenankan untuk mengatur sendiri hartanya karena faktor-faktor tertentu). Oleh karena itu, jika anak kecil atau orang gila berhutang, maka akad hutang tersebut tidak sah, karena tidak memnuhi syarat.

4.     Syarat objek akad Qard (barang yang dipinjam)

Ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah berpendapat bahwa diperbolehkan melakukan Qardh atas semua benda yang bisa dijadikan objek akad salam, baik itu barang yang ditakar dan ditimbang seperti emas, perak, dan makanan, maupun dari harta qimmi, seperti barang dagangan, binatang dan juga barang yang dijual satuan. Alasan dalam hal ini adalah sesuatu yang dapat dijadikan objek komoditi salam dimiliki dengan akad jual beli dan diidentifikasi dengan sifatnya, sehingga ia boleh dijadikan objek akad Qardh seperti halnya barang yang ditakar dan ditimbang.

Dapat disimpulkan bahwa objek akad Qard yaitu harus jelas nilai pinjamannya dan waktu pelunasannya.

Pengertian Ariyah

Menurut etimologi, ariyah adalah ‘Aara’ berarti datang dan pergi. Menurut sebagian pendapat, ariyah berasal dari kata At-Ta’aawuru  yang sama artinya dengan At-Tanaawulu au At-Tanaasubu (saling menukar dan mengganti), yakni dalam tradisi pinjam – meminjam.[8]

Menurut terminologi syara’ ulama fiqh berbeda pendapat dalam mendefenisikannya, Pembolehan (untuk mengambil) manfaat tanpa pengganti”

Akad ini berbeda dengan hibah, karena ariyah dimaksudkan untuk mengambil manfaat dari suatu benda, sedangkan hibah mengambil zat benda tersebut.

Pengertian pertama memberikan makna kepemilikan sehingga peminjam dibolehkan untuk meminjamkan kepada orang lain. Adapun pengertian kedua memberikan makna kebolehan, sehingga peminjam tidak boleh meminjamkan kembali barang pinjaman kepada orang lain.

            Dasar Hukum

Ariyah dianjurkan (mandub) dalam islam, yang didasarkan pada Al-Qur’an dan Sunah.

Q.S Al-Maidah: 2 Artinya:  Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi’ar-syi’ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keridhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian (mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.

Q.S Al-Ma’un 5-7 Artinya: “orang-orang yang lalai terhadap sholatnya (5), yang berbuat ria (6) dan enggan (memberikan) bantuan.(7)”

Shafwan Ibnu Umayyah meriwayatkan : “Bahwasanya Rasulullah SAW pada hari Khaibar pernah meminjam perisai dari pada Shafwan bin Umaiyah, lalu berkata Shafwan kepada beliau: Apakah perisai ini diambil terus dari padaku, wahai Muhammad!, Beliau menjawab: Tidak, tetapi hanya pinjaman yang dijamin.” (Riwayat Abu Dawud dan Ahmad)”.

Rukun dan Syarat Ariyah

Rukun Ariyah

Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun ariyah hanyalah ijab dari yang meminjamkan barang, sedangkan qabul bukan merupakan rukun ariyah.

Menurut ulama Syafi’iyah, dalam ariyah disyaratkan adanya lafazh shighat akad, yakni ucapan ijab dan qabul dari peminjam dan yang meminjamkan barang pada waktu transaksi sebab memanfaatkan milik barang bergantung pada adanya izin.

Secara umum, jumhur ulama fiqh  menyatakan bahwa rukun ariyah ada empat, yaitu:

1.     Mu’ir (peminjam)

2.     Musta’ir (yang meminjamkan)

3.     Mu’ar (barang yang dipinjam)

4.     Shighat (ijab dan qabul)

Syarat Ariyah

Ulama mensyaratkan dalam akad ariyah sebagai berikut :

1.     Mu’ir berakal sehat

Orang gila dan anak kecil yang tidak berakal tidak dapat meminjamkan barang. Ulama Hanafiah tidak mensyaratkan sudah baligh, sedangkan ulama lainnya menambahakan bahwa yang berhak meminjamkan adalah orang yang dpat berbuat kebaikan sekehendaknya tanpa dipaksa, bukan anak kecil dan bukan orang bodoh.

2.     Pemegangan barang oleh peminjam

Ariyah adalah transaksi dalam berbuat kebaikan, yang dianggap sah memegang barang adalah peminjam, seperti halnya dalam hibah

3.     Barang (musta’ar) dapat dimanfaatkan tanpa merusak zatnya, jika musta’ar tidak dapat dimanfaatkan, akad tidak sah.

Para ulama telah menetapkan bahwa ariyah dibolehkan terhadap setiap barang yang dapat diambil manfaatnya dan tanpa merusak zatnya, seperti meminjamkan tanah, pakaian,binatang dan lain-lain.

Macam-macam Ariyah

Adapun ulama Hanafiyah berpendapat bahwa kewenangan yang dimiliki oleh musta’ar begantung pada jenis pinjaman, apakah mu’ir meminjamkannya secara terkait (muqayyad) atau mutlak.

a.     Ariyah Mutlak

Ariyah mutlak adalah jika seseorang meminjam sesuatu tanpa menjelaskan apakah dia menggunakannya sendiri atau untuk orang lain ketika akad. Misalnya : Seseorang meminjamkan tungganagn kepada orang lain tanpa menyebutkan tempat dan batas waktunya. Juga tanpa menentukan apakah untuk ditunggangi atau membawa barang.

b.     Ariyah Muqayyad

Akad pinjam – meminjam yang dibatasi waktu dan penggunaannya secara bersamaan atau salah satunya. Konsekuensinya adalah peminjam harus memperhatikan batasan itu, kecuali ada kesulitan yang menyebabkan peminjam tidak dapat mengambil manfaat barang. Dengan demikian, dibolehkan untuk melanggar batasan tersebut apabila kesulitan untuk memanfaatkannya.

7.Konsep natural certainty contract (NCC) dan natural uncertainty conract (NUC)

    Konsep NCC

Natural Certainty Contracts adalah kontrak/akad dalam bisnis yang memberikan kepastian pembayaran, baik dari segi jumlah maupun waktunya. Cash flow-nya bisa diprediksi dengan relatif pasti, karena sudah disepakati oleh kedua belah pihak yangbertransaksi di awal akad. Kontrak-kontrak ini secara menawarkan return yang tetap dan pasti. Objek pertukarannya (baik barang maupun jasa) pun harus ditetapkan di awal akad dengan pasti, baik jumlahnya (quantity), mutunya (quality), harganya (price), dan waktu penyerahannya (time of delivery). Yang termasuk dalam kategori ini adalah kontrak-kontrak jual-beli, upah-mengupah, sewa-menyewa.

Macam – Macam Natural Certainty Contracts (NCC) sebagai berikut :

1. Akad Jual Beli

a. Bai’ naqdan adalah  jual beli biasa yang dilakukan secara tunai. Dalam jual beli ini bahwa baik uang maupun barang diserahkan di muka pada saat yang bersamaan, yakni di awal transaksi (tunai).

b. Bai’  muajjal adalah jual beli dengan cara cicilan. Pada jenis ini barang diserahkan di awal periode, sedangkan uang dapat diserahkan pada periode selanjutnya. Pembayaran ini dapat dilakukan secara cicilan selama periode hutang, atau dapat juga dilakukan secara sekaligus di akhir periode.

c. Murabahah adalah jual beli dimana besarnya keuntungan secara terbuka dapat diketahui oleh penjual dan pembeli.

d. Salam adalah akad jual beli barang dengan cara pemesanan dan pembayaran harga lebih dahulu dengan syarat-syarat tertentu.

e. Istisna adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan (Pembeli, Mustashni’) dan penjual (Pembuat, shani’).

2. Akad Sewa-Menyewa

a.  Ijarah adalah akad pemindahan hak guna  atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa/upah tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri.

b.  Ijarah Muntahiya Bittamlik (IMBT) adalah Ijarah yang membuka kemungkinan perpindahan kepemilikan atas objek ijarahnya pada akhir periode.

c. Ju’alah adalah akad ijarah yang pembayarannya didasarkan kepada kinerja objek yang disewa /diupah.

            Konsep NUC

Natural Uncertainty Contract (NUC) adalah suatu jenis kontrak transaksi dalam bisnis yang tidak memiliki kepastian atas keuntungan dan pendapatan, baik dari segi jumlah maupun waktu penyerahannya. Hal ini disebabkan karena transaksi ini sangat terkait dengan kondisi dimasa yang akan datang yang tidak dapat ditentukan. Dengan kata lain, transaksi ini tidak bersifat fixed dan predetermined. Dalam NUC pihak-pihak bertransaksi saling mencampurkan asetnya menjadi satu kesatuan, dan kemudian menanggung resiko bersama-sama untuk mendapatkan keuntungan. Disini, untung rugi ditanggung bersama. Karena itu kntrak ini tidak memberikan kepastian pendapatan (return), baik dari segi jumlah maupun waktu.