Kewenangan dan Hak Kurator Dalam perkara kepailitan

 Kewenangan dan Hak Kurator Dalam perkara kepailitan

Menurut Pasal 16 dan 17 UU No. 37 Tahun 2004, kurator memiliki kewenangan dan hak sebagai berikut.

1.     Kurator berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan atas harta pailit sejak tanggal putusan pailit diucapkan meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali.

2.     Dalam hal putusan pernyataan pailit dibatalkan sebagai akibat adanya kasasi atau peninjauan kembali, segala perbuatan yang telah dilakukan oleh kurator sebelum atau pada tanggal kurator menerima pemberitahuan tentang putusan pembatalan, maka tetap sah dan mengikat debitur.

3.     Kurator wajib mengumumkan putusan kasasi atau peninjauan kembali yang membatalkan putusan pailit dalam Berita Negara Republik Indonesia dan paling lambat 2 (dua) surat kabar harian.

4.     Majelis hakim yang membatalkan putusan pernyataan pailit juga menetapkan biaya kepailitan dan imbalan jasa kurator.

5.     Biaya kepailitan dan imbalan jasa kurator dibebankan kepada pemohon pernyataan pailit atau kepada pemohon dan debitur dalam perbandingan yang ditetapkan oleh majelis hakim tersebut.

6.     Untuk pelaksanaan pembayaran biaya kepailitan dan imbalan jasa kurator, ketua pengadilan agama mengeluarkan penetapan eksekusi atas permohonan kurator.

7.     Dalam hal putusan pernyataan pailit dibatalkan, perdamaian yang mungkin terjadi gugur demi hukum.

 

Pembiayaan Kepailitan

Pembiayaan kepailitan adalah diatur dalam Pasal 18 UU No.37 Tahun 2004, meliputi hal-hal sebagai berikut.

1.     Dalam hal harta pailit tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan maka pengadilan agama atas usul hakim pengawas dan setelah mendengar panitia kreditor sementara jika ada, serta setelah memanggil dengan sah atau mendengar debitur, dapat memutuskan pencabutan putusan pernyataan pailit. Putusan mana diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.

2.     Majelis hakim yang memerintahkan pencabutan pailit menetapkan jumlah biaya kepailitan dan imbalan jasa kurator.

3.     Jumlah biaya kepailitan dan imbalan jasa kurator dibebankan kepada debitur.

4.     Biaya kepailitan dan imbalan jasa kurator harus didahulukan atas semua utang yang tidak dijamin dengan agunan.

5.     Terhadap penetapan majelis hakim mengenai biaya kepailitan dan imbalan jasa kurator tidak dapat diajukan upaya hukum.

6.     Untuk pelaksanaan pembayaran biaya kepailitan dan imbalan jasa kurator, ketua pengadilan agama mengeluarkan penetapan eksekusi atas permohonan kurator yang diketahui hakim pengawas.

Pencabutan Pernyataan Pailit

Pelaksanaan teknis pencabutan perkara kepailitan menurut pasal 19 UU No. 37 Tahun 2004 adalah berisi sebagai berikut.

1.     Putusan yang memerintahkan pencabutan pernyataan pailit, diumumkan oleh Panitera pengadilan agama dalam Berita Negara Republik Indonesia dan paling sedikit 2 (dua) surat kabar harian.

2.     Terhadap putusan pencabutan pernyataan pailit dapat diajukan kasasi dan/atau peninjauan kembali.

3.     Dalam hal setelah putusan pencabutan pernyataan pailit diucapkan diajukan lagi permohonan pernyataan pailit, maka debitur atau pemohon wajib membuktikan bahwa ada cukup harta untuk membayar biaya kepailitan.

4.     Panitera pengadilan agama wajib menyelenggarakan suatu daftar umum untuk mencatat setiap perkara kepailitan secara tersendiri, yang memuat hal-hal sebagai berikut.

a.     Ikhtisar putusan pailit atau putusan pembatalan pernyataan pailit.

b.     Isi singkat perdamaian dan putusan pengesahannya.

c.     Pembatalan perdamaian.

d.     Jumlah sebagaimana dalam pemberesan.

e.     Pencabutan kepailitan.

f.      Rehabilitasi.

Sepanjang menyangkut persoalan perdata mengenai sengketa ekonomi syariah sengketa perbankan syariah yang termasuk di dalamnya mengenai kepailitan yang semula akadnya berdasar pada hukum Islam, maka tetap menjadi kewenangan pengadilan agama, kalau menyangkut persoalan pidana, peradilan umumlah yang berwenang untuk menyelesaikannya. Berkaitan dengan muslim dan nonmuslim, kalau sudah mengadakan akad syariah, maka pihak nonmuslim harus tunduk pada UU yang ada. Hal ini, berarti mereka telah menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam. Analoginya, seperti halnya kaum Tionghoa dahulu yang harus tunduk pada BW, meskipun sebenarnya dia tidak termasuk pribumi. Dalam konteks ini, dapat diambil kesimpulan bahwa subjek hukum yang terlibat dalam sengketa ekonomi syariah adalah terikat dengan 2 (dua) asas, yaitu asas personalitas dan asas penundukan diri. Asas personalitas diaplikasikan untuk akad yang dilangsungkan antara sesama orang Islam, sedangkan asas penundukan diri diperuntukkan bagi akad antara orang Islam dan non-Islam. 

Uraian mengenai penyelesaian perkara sengketa ekonomi syariah yang menjadi kewenangan absolute pengadilan agama, maka pengadilan hegeri sudah tidak ada kewenangan untuk menyelesaikan sengketa bisnis syariah. Oleh sebab itu, perbankan syariah yang selama ini masih memasukkan klausul perjanjian sengketa dengan memasukkan pengadilan negeri sebagai lembaga yang memiliki kewenangan dalam eksekusi harus ditinjau kembali. Hal ini berdasar pada Pasal 49 (i) UU No. 3 Tahun 2006 dan diperkuat juga dengan beberapa fatwa yang direkomendasikan oleh Dewan Syariah Nasional (DSN) tentang sengketa ekonomi syariah.