Makalah Negosiasi dan Jual Beli yang Dilarang dalam Islam

 

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Manusia sebagai makhluk sosial yang diciptakan Allah SWT yang saling membutuhkan satu dengan yang lain tak lepas dalam urusan jual beli guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Walaupun Islam mendorong ummatnya untuk berdagang, bukan berarti dapat dilakukan sesuka dan sekehendak manusia, seperti lepas kendali. Dalam pandangan Islam bisnis merupakan sarana untuk beribadah kepada Allah dan merupakah fardlu kifayah, oleh karena itu bisnis dan perdagangan (jual beli) tidak boleh lepas dari peran Syari’ah Islamiyah. Sistem Islam melarang setiap aktivitas perekonomian, tak terkecuali jual beli (perdagangan) yang mengandung unsur paksaan, mafsadah (lawan dari manfaat), dan gharar (penipuan). Sedangkan, bentuk perdagangan Islam mengijinkan adanya sistem kerja sama (patungan) atau lazim disebut dengan syirkah.

Dalam dunia bisnis, istilah negosiasi bukanlah hal yang baru. Negosiasi digunakan untuk menjembatani dua kepentingan yang berbeda, misalnya antara produsen dengan konsumen. Oleh karena itu, agar terjadi suatu kesepakatan di antara kedua belah pihak, diperlukan negosiasi. Sementara itu, orang yang melakukan negosiasi sering disebut sebagai seorang negosiator. Dalam komunikasi bisnis bernegosiasi sangat dibutuhkan dalam mencapai suatu kesepakatan bersama antara dua belah pihak yang bersangkutan. Dalam bernegosiasi ada tata cara tersendiri sehingga kesepakatan di antara keduanya bisa tercapai.

Berdasarkan latar belakang tersebut maka kelompok kami merasa tertarik untuk membahas materi mengenai jual beli yang dilarang dan negosiasi.

 

 

 

 

2.2 Rumusan Masalah         

Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka perumusan masalah dapat diuraikan sebagai berikut :

1.      Bagaimana konsep jual beli yang dilarang dalam Islam?

2.      Apa saja faktor-faktor yang menyebabkan jual beli dilarang dalam Islam?

3.      Bagaimana negosiasi dalam berbisnis?

 

2.3 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan makalah ini, sebagai berikut.

1.      Ingin Mengetahui konsep jual beli yang dilarang dalam Islam.

2.      Ingin Mengetahui saja faktor-faktor yang menyebabkan jual beli dilarang dalam Islam.

3.      Ingin Mengetahui negosiasi dalam berbisnis.

 

2.4 Batasan Masalah

Adapun batasan masalah pada pembahasan makalah ini adalah penulis membatasi pembahasan konsep jual beli yang dilarang, faktor-faktor yang menyebabkan jual beli dilarang dalam Islam, serta negosiasi dalam berbisnis.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

2.1  Konsep Jual Beli Yang Dilarang Dalam Islam

Islam adalah agama yang syamil, yang mencangkup segala permasalahan manusia, tak terkecuali dengan jual beli. Jual beli telah disyariatkan dalam Islam dan hukumnya mubah atau boleh, berdasarkan Al Quran, sunnah, ijma’ dan dalil aqli. Allah Swt membolehkan jual-beli agar manusia dapat memenuhi kebutuhannya selama hidup di dunia ini.

Namun dalam melakukan jual-beli, tentunya ada ketentuan-ketentuan ataupun syarat-syarat yang harus dipatuhi dan tidak boleh dilanggar. Seperti jual beli yang dilarang yang akan kita bahas ini, karena telah menyelahi aturan dan ketentuan dalam jual beli, dan tentunya merugikan salah satu pihak, maka jual beli tersebut dilarang.

Bila telah dipahami bahwa hukum asal setiap perniagaan adalah halal, maka hal yang semestinya dikenali adalah hal-hal yang menjadikan suatu perniagaan diharamkan dalam Islam. Karena hal-hal yang menyebabkan suatu transaksi dilarang sedikit jumlahnya, berbeda halnya dengan perniagaan yang dibolehkan, jumlahnya tidak terbatas.

Walaupun Islam mendorong umatnya untuk berdagang, bukan berarti dapat dilakukan sesuka dan sekehendak manusia, seperti lepas kendali. Adab dan etika bisnis dalam Islam harus dihormati dan dipatuhi jika para pedagang dan pebisnis ingn termasuk dalam golongan para Nabi, Syuhada dan Shadiqien.

Konsep Jual beli dapat dilihat dari beberapa sudut pandang, antara lain ditinjau dari segi sah atau tidak sah dan terlarang atau tidak terlarang.  Kemudian konsep jual beli yang dilarang pelbagai jenis sesuai dengan cabang-cabangnya dan sifatnya. Hal ini dapat dibagi kedalam :

1.         Ditinjau dari sudut rusak syarat akad,

2.         Ditinjau dari sudut rusak syarat sah

 

 

2.2  Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Jual Beli Dilarang Dalam Islam

1.      Adanya Unsur Kezaliman (Al- Zhulm)

Diantara bentuk-bentuk jual-beli yang diharamkan karena mengandung kezaliman, yaitu :

a.     Jual Beli Najsy

Najsy secara bahasa berarti mempengaruhi (membenagkitkan). Sedangkan menurut pengertian terminologi, najsy berarti  jika seseorang meninggikan harga sebuah barang, namun tidak bermaksud untuk membelinya, melainkan hanya untuk membuat orang lain tertarik dengan barang tersebut sehingga dia terjebak  di dalamnya, atau dia memuji komoditas tersebut dengan kelebihan-kelebihan yang sebenarnya tidak dimiliki komoditas tersebut dengan tujuan untuk promosi belaka.

Menurut pengertian yang lain secara istilah memiliki beberapa bentuk yaitu :

1.      Seseorang menaikkan harga pada saat lelang sedangkan dia tidak berniat untuk membeli; baik ada kesepakatan sebelumnya antara dia dan pemilik barang atau perantara, maupun tidak.

2.      Penjual menjelaskan kriteria barang yang tidak sesungguhnya.

3.      Penjual berkata," harga pokok barang ini sekian," padahal dia berdusta[1]

Najasy menurut syara’ berarti penambahan pada barang, dan ini terjadi atas pembuatan penjual maka keduanya menanggung dosa, atau dengan ibarat yang lain; penambahan pada harga barang yang di tawarkan untuk di jual tapi bukan dengan maksud untuk membelinya, hanya untuk membuat orang lain tertarik, dan najasy pada orang (jual beli itu) dinamakan najasy, karena dia membangkitkan kemauan pembeli dan mengangkat harganya, para ulama sepakat bahwa pelaku najasy adalah pelaku maksiat.

Contoh dari jual beli najsy sebagai berikut: Misalnya, dalam suatu transaksi atau pelelangan, ada penawaran atas suatu barang dengan herga tertentu, kemudian ada sesorang yang menaikkan harga tawarnya, padahal ia tidak berniat untuk membelinya. Dia hanya ingin menaikkan harganya untuk memancing pengunjung lainnya dan untuk menipu para pembeli, baik orang ini bekerjasama dengan penjual ataupun tidak

Najsy dengan seluruh bentuk di atas hukumnya haram, karena merupakan penipuan dan pengelabuan terhadap pembeli. Namun demikian, hukum akad jual-beli tetap sah dan pembeli berhak memilih antara mengembalikan barang atau meneruskan akad, jika harga barang yang dibelinya jauh lebih mahal dari harga pasaran.

Rasulullah Saw bersabda :

عن ابن عمر رضي الله عنهما قال : نهى النبي صلى الله عليه و سلم عن النجش

Artinya : “Dari Ibn Umar, ia berkata," Rasulullah melarang najsy". (HR. Bukhari- Muslim)

 

b.     Ihktikar (Penimbunan Barang)

Ihtikar berasal dari kata hakara yang arti az-zulm (aniaya) dan isa' al-mu'asyarah (merusak pergaulan). Secara istilah berarti menyimpan barang dagangan untuk menunggu lonjakan harga[2]

Penimbunan barang (Ihtikar). Timbulnya kemudharatan terhadap mesyarakat merupakan syarat pelarangan penimbunan barang. Apabila hal itu terjadi, barang dagangan hasil timbunan tersebut harus dijual dan keuntungan dari hasil penjualan ini disedekahkan sebagai pendidikan terhadap para pelaku ihtikar. Adapun para pelaku Ihtikar itu sendiri hanya berhak mendapatkan modal pokok mreka. Selanjutnya, pemerintah memperingati para pelaku ihtikar agar tidak mengulangi perbuatannya. Apabila mereka tidak mempedulikan peringatan tersebut, pemerintah berhak menghukum mereka dengan memukul, mengelilingi kota dan memenjarakannya[3]

Para ulama sepakat bahwa ihtikar secara umum hukumnya haram. Para ahli fikih menghukumkan ihtikar sebagai perbuatan terlarang dalam agama. Dasar hukum pelarangan ini adalah kandungan Alquran yang menyatakan bahwa setiap perbuatan aniaya, termasuk di dalamnya kegiatan ihtikar, diharamkan oleh agama. Firman Allah Swt dalam  QS Al Baqarah : 279 yang berbunyi :

Artinya : “Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”.

Di samping itu banyak hadis Rasulullah SAW tidak membenarkan perbuatan ihtikar, misalnya, ''Siapa yang merusak harga pasar, sehingga harga tersebut melonjak tajam, maka Allah akan menempatkannya di dalam api neraka pada hari kiamat.'' (HR at-Tabrani).

Syarat ihtikar diharamkan Ihtikar diharamkan bilamana terdapat 2 hal, yaitu :

1.      Melakukan ihtikar pada saat harga melambung, adapun menimbun barang pada waktu harga murah tidak dinamakan ihtikar.

2.      Barang yang ditimbun merupakan hajat orang banyak dan mereka terimbas dengan tindakan tersebut, seperti makanan pokok, bahan bakar, material bangunan, dll. Adapun barang yang tidak termasuk kebutuhan pokok maka tidak diharamkan menimbunnya.[4]

c.     Ghisyhy

Ghisysy merupakan suatu cara menyembunyikan cacat barang atau dengan cara menampilkan barang yang bagus dan menyelipkan diselanya barang yang jelek[5]. Kecurangan Perbuatan yang disengaja untuk menimbulkan kerugian pada pihak lain, misalnya seseorang yang membuat pernyataan palsu, menyembunyikan atau menghilangkan bukti yang penting.

Bentuk lain dari ghisysy adalah penjual menampilkan barang tidak sesuai dengan hakikatnya, atau ia menyembunyikan cacat barang, jika pembeli mengetahui hakikat barang sesungguhnya ia tidak akan membeli barang dengan harga yang diinginkan penjual. Ghisysy juga dapat diartikan mengurangi timbangan dan takaran, dengan tujuan ia mendapat kentungan dari selisih barang yang ditimbang dengan benar.[6]

Ghisysy bisa terjadi karena curang dalam harga. Barangnya tidak rusak, hanya karena pembeli tidak mengerti  harga dan tidak cakap menawar, pembeli tertipu dengan harga yang jauh diatas harga pasar. Ini disebut oleh para ulama dengan bai’ mustarsil.

Firman Allah Swt dalam QS. Al-Muthafifiin ayat 1-3 yang berbunyi :

Artinya : “Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang. (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi”.

Yang dimaksud dengan orang-orang yang curang di sini ialah orang-orang yang curang dalam menakar dan menimbang. Oleh karena itu, sebagian ahli fiqih menempatkan ghisysy (penipuan, curang dan tidak menjelaskan aib barang) dalam deretan dosa besar, dengan alasan termasuk memakan harta orang lain dengan cara yang bathil.[7]

Sabda Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah yang berbunyi :

مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا

Artinya : “Barangsiapa yang menipu kami, maka ia tidak termasuk golongan kami.” (HR. Muslim).

Contoh praktek ghisysy (penipuan) ternyata bukan saja dipraktikkan di dunia niaga. Di dunia pendidikan mulai dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi praktik ghisysy tidak asing lagi, dilakukan oleh perorangan ataupun massal. Praktik ini dikenal dengan curang, menyontek pada saat ulangan umum. Juga termasuk dalam bentuk ghisysy tindakan plagiat dalam karya ilmiah yang menjadi syarat kelulusan. Ghisysy yang lebih tinggi lagi adalah praktik jual-beli ijazah.

Tradisi ghisysy ini telah mengakar dan membudaya di tengah sebagian masyarakat Indonesia, sehingga pada saat ada salah seorang yang membongkar praktik ghisysy pada Ujian Nasional disalah satu Sekolah Dasar di sebuah kota, bukannya ia mendapat dukungan dari masyarakatnya, malah ia dikucilkan dan diusir dari rumahnya sendiri oleh orang-orang di sekitarnya. Dan di salah satu daerah lainnya agar ghisysy tidak terjadi di sekolah-sekolah pasukan keamanan dengan seragam lengkap harus mengawal pendistribusian soal ujian.

d.     Merampas Hak Cipta

Perlindungan hak cipta. Merupakan etika perniagaan, umumnya para produsen barang meminta perlindungan hak cipta mereka dan melarang orang lain meniru barang produksi atau merek mereka. Mereka melakukan ihtikar atau monopoli produksi barang tersebut, termasuk dalam hal ini materi-materi ilmiah dan informasi seperti buku, kaset, dan program komputer.

Merampas atau pencurian atas hak cipta menurut hukum Islam juga bisa terancam hukuman. Bagaimana bentuk hukuman tersebut, tergantung kepada sistem peadilan dan menentukannya. Hak cipta merupakan hak yang harus dilindungi, maka mencurinya, secara lahir jelas sama dengan mencuri hak-hak lain yang terlindungi. Sejauh pencurian terhadap hak intelektual menimbulkan kerugian bagi pemilik hak tersebut, maka mencurinya jelas sama dengan menimbulkan kerugian materi lainnya terhadap orang lain. Yang jelas agama Islam melarang segala bentuk kedlaliman dan tindakan yang merugikan orang lain.

Bagaimana kalau pencurian atas hak cipta tersebut dilakukan untuk kemaslahatan lain yang lebih besar, Ini memerlukan kajian yang lebih telilti lagi tentang bagaimana mengukur kemaslahatan tersebut, sehingga bisa menerapkan qaidah yang artinya: ”Apabila terjadi dua maslahat yang bertentangan, maka diambil yang lebih besar.”

Karena hak cipta adalah hak yang diakui syariat maka haram melanggarnya dengan cara membajak, diperbanyak tanpa izin penulis, diterjemahkan kedalam bahasa lain ataupun disimpan pada media seperti (CD) lalu dijual tanpa seizin penulis. Jika tetap dilakukan sungguh pembajaknya telah mencuri hak orang lain yang akan dipertanggung jawabkan di dunia dan akhirat.

e.     Menjual Barang Yang Masih Dalam Proses Transaksi Dengan Orang Atau Menawar Barang yang Masih Di-tawar Orang Lain

Di antara bentuk jual beli yang dilarang yakni apabila sese-orang menjual sesuatu yang masih dalam proses transaksi dengan orang lain, atau menawar barang yang masih ditawar orang lain. Di antara bentuk aplikatif menjual sesuatu dalam transaksi orang lain misalnya: Ada dua orang yang berjual beli dan sepakat pada satu harga tertentu. Lalu datang penjual lain dan mena-warkan barangnya kepada pembeli dengan harga lebih murah. Atau menawarkan kepada si pembeli barang lain yang berkualitas lebih baik dengan harga sama atau bahkan lebih murah.

Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama bahwa itu adalah per-buatan dosa bila aplikasinya demikian, karena dapat menyebabkan ketidaksenangan orang lain dan membahayakannya. Selain juga karena ada larangan tegas terhadap perbuatan itu dari Sunnah Nabi yang shahih.

لا يسم أحد على سوم أخيه

Artinya : “Jaganlah seseorang menawar atas tawaran saudaranya”. (HR. Bukhari).

Bentuknya yang lain misalnya seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar dari Sabda Rasulullah, "Tidak sah menjual sesuatu dalam transaksi orang lain." Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. Dalam riwayat Muslim disebutkan, "Janganlah seseorang melakukan transaksi penjualan dalam transaksi orang lain. Dan janganlah seseorang meminang wanita yang masih dipinang oleh orang lain, kecuali bila mendapatkan izin dari pelaku transaksi atau peminang pertama."

Adapun menawar barang yang masih ditawar orang lain, yakni seperti dua pihak yang melakukan transaksi jual beli lalu sama-sama sepakat pada satu harga tertentu, lalu datang pembeli lain yang menawar barang yang menjadi objek transaksi mereka dengan harga lebih mahal, atau dengan harga yang sama, hanya saja karena ia orang yang berkedudukan, maka si penjual lebih cenderung menjual kepada orang itu, karena melihat kedudukan orang kedua tersebut.[8]

f.      Menjual Barang Yang Digunakan Untuk Maksiat

Menjual barang yang mubah kepada pembeli yang diketahui akan menggunakannya untuk berbuat maksiat diharamkan, seperti: menjual anggur kepada pabrik minuman keras dan menjual senjata kepada perampok. Begitu juga akad sewa, seumpama; menyewakan tempat kepada orang yang menjual barang haram, seperti kaset musik atau menyewakan gedung kepada bank konvensional dan lain-lain.

Firman Allah Swt QS. Al-Maidah ayat 2 yang artinya “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran". Bentuk jual beli ini merupakan kezaliman terhadap pembeli karena membantunya berbuat maksiat padahal seharusnya dia dinasehati agar berhenti berbuat maksiat.

2.      Adanya Unsur Gharar (Penipuan)

Aturan-aturan syariah mengenai gharar telah digambarkan oleh ulama syariah dalam kaidah-kaidah tertentu; kaidah yang paling populer salah satunya adalah menjual barang yang tidak dia miliki adalah haram (Jula beli yang tidak ada).[9]

بيع ما ليس عند الانسا ن لا يجوز

Artinya : “Seseorang tidak boleh menjual sesuatu yang tidak dimilikinya”.

a.     Bai’ Al-Ma’dum

Secara asasnya, jual beli dalam Islam mesti melibatkan kewujudan barang jualan (mahal al-aqd atau ma'qud allaih) ketika transaksi berlaku. Transaksi-transaksi yang berlaku tanpa kewujudan barang jual beli disebut bai' al- ma'dum yang biasanya dikaitkan dengan transaksi 'futures contracts' dan 'warrants' dalam konteks transaksi modern pada hari ini.

Rasulallah saw melarang bai' al ma'dum yaitu jual-beli yang barangnya tidak ada di tempat transaksi, Sementara itu, sebagian ulama membolehkan Istishna' yaitu jual-beli barang yang belum dibuat, seperti memesan baju dan celana. Padahal Istishna’ sama seperti menjual sesuatu yang tidak ada, karena barangnya juga tidak ada di tempat.

Pada dasarnya, Ba'i Al-Ma'dum merupakan bentuk jual-beli yang diperdebatkan kebolehannya oleh para ulama fiqih. Sebagian ada yang berpendapat bahwa ba'i al ma'dum merupakan bentuk jual-beli yang haram dengan alasan adanya dalil yang melarang jual-beli gharar atau jual-beli yang mengandung unsur penipuan. Ba'i al ma'dum masuk dalam kategori jual-beli gharar, karena ketiadaan barang yang dijual akan menimbulkan perselisihan terhadap barang tersebut, jika didapatkan ketidakpuasan dari pembeli.

Sehingga kaidah yang berlaku dalam ba'i al ma'dum adalah: Segala yang tidak ada dan tidak dapat direalisasikan keberadaannya di masa datang maka tidak boleh diperjual-belikan. Dan segala yang tidak ada namun keberadaannya dapat direalisasikan di masa datang, sesuai dengan kebiasaan maka boleh diperjual-belikan.

b.     Bai’ Al-Gharar (Jual Beli Secara Gharar)

Gharar secara bahasa berarti khatar (resiko, berbahaya), dan tahgrir berarti melibatkan diri dalam sesuatu yang gharar. Gharar dalam terminologi para ulama fiqih telah merumuskan bebrapa definisi mengenai gharar menurut ciri dan karakteristiknya yang berbeda-beda. Beberapa definisi itu adalah sebagai berikut :

1.     Menurut Ibn Rusyd : “Gharar ditemukan dalam akad-akad jual beli ketika penjualnya dirugikan akibat kekurangtahuannya mengenai harga, atau akibat kekurangtahuannya tentang kriteria penting dalam akad, barang yang ia jual, kualitas barang maupu waktu penyerahan barang itu”.

2.     Menurut Ibn Abidin : “ Gharar adalah ketidakpastian mengenai keberadaan barang dalam jual beli.

Dari definisi diatas dapat dimbil kesimpulan bahwa gharar berisi kharakteristik-karakteristik tertentu seperti risiko, bahaya, spekulasi, hasil yang tidak pasti, dan keuntungan mendatang yang tidak diketahui. Atau dapat dikatakan jual beli secara gharar (yang tidak jelas sifatnya) yaitu segala bentuk jual beli yag didalamnya terkandung jahalah (unsur ketidakjelasan), atau didalamnya terdapat unsur taruhan atau judi.

Sebuah akad melibatkan gharar, menyebabkan keuntungan dan kekayaan yang tak pantas pada satu pihak atas tanggungan kerugian pihak lain. Oleh karena itu, Nabi Saw telah melarang akad-akad yang mengandung gharar. Beliau mengidentifikasikan sejumlah transaksi sebagai teransaksi gharar apabila transaksi-transaksi  itu melibatkan elemen ketidak pastian, risiko, judi, tidak adanya ketentuan, dan kurangnya pengetahuan mengenai fakta-fakta material dalam akad.

Jual beli gharar dilarang dalam Islam berdasarkan Al-Quran didasarkan kepada ayat-ayat yang melarang memakan harta orang lain dengan cara yang bathil. Sebagaimana yang tersebut dalam QS. An-Nisa’ : 29 yang berbunyi :

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”.

Alasan pelanggaran jual beli gharar tersebut selain karena memakan harta orang lain dengan cara bathil, juga merupakan transaksi yang mengandung unsur judi, seperti menjual burung diudara, onta dan budak yang kabur, buah-buahan sebelum tampak buahnya, jual beli apapun yang masih ada didalam perut hewan dll.

Adapun larangan jual beli gharar dalam hadits Nabi Saw adalah sebagai berikut :

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ

Artinya : “Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi melarang jual beli Hashah (jual beli tanah yang menentukan ukurannya sejauh lemparan batu) dan juga melarang jual beli Gharar”. (HR. Muslim).

Nabi SAW juga mengharamkan jual beli mulamasah dan munabadhah. Mulamasah adalah jual beli dengan harga pasti atas barang-barang yang disentuh si pembeli tanpa diperiksanya. Sedangkan Munabadhah adalah jual beli yang memberi akibat pada dua pihak yang saling menukar barang dimana masing-masing pihak tidak memeriksanya.

c.     Transaksi Berjangka

Transaksi berjangka, adalah  salah satu bentuk cara jual beli instrumen di pasar keuangan dimana berlangsungnya pembayaran dan penerimaan instrumen pada masa yang akan datang yang disebut dengan pay-day (waktu pembayaran).

Transaksi berjangka hukumnya haram karena :

1.        Penyerahan barang dan uang tidak tunai. Dan para ulama sepakat mengharamkan jual beli barang dan uang yang tidak tunai.

2.        Transaksi ini mengandung gharar disebabkan turun-naik harga dalam jangka waktu tertentu.

3.        Pada umumnya saat kontrak terjadi, penjual belum memiliki barang yang dijualnya, ini termasuk menjual barang yang tidak dimiliki.

Misalnya: Pak Ahmad membeli 100 saham dari pak Ali dengan harga 10 juta rupiah pada hari Kamis tanggal 4 Januari, dimana saham dan uang iserahkan pada hari Senin tanggal 4 Februari.

d.     Asuransi

Asuransi adalah suatu persetujuan dimana pihak yang meminjam berjanji kepada pihak yang dijamin untuk menerima sejumlah uang premi sebagai pengganti kerugian, yang mungkin akan diderita oleh yang dijamin karena akibat dari suatu peristiwa yang belum jelas akan terjadi[10].

Ada beberapa pendapat dalam memandang asuransi. Pendapat yang menyatakan asuransi dilarang dalam islam adalah dengan dasar yaitu segala asuransi dalam segala aspeknya adalah haram, termasuk asuransi jiwa. Pendapat ini didukung oleh kalangan ulama seperti Sayid Sabiq, Abdullah Al- Qalqili, Muhammad Yusuf Qordawi, dan Muhammad Bakhit Al-Muth’i.  Alasannya diantara lain adalah:

1.            Pada dasarnya asuransi itu sama atau serupa dengan judi.

2.            Asuransi mengandung ketidakpastian.

3.            Asuransi mengadung riba.

4.            Asuransi bersifat eksploitasi karena jika peserta tidak sanggup melanjutkan pembayaran premi sesuai dengan perjanjian maka premi hangus / hilang atau dikurangi secara tidak adil (peserta dizalimi).

5.            Premi yang diterima oleh perusahaan diputar atau ditanam pada investasi yang mengandung bunga /riba.

6.            Asuransi menjadikan hidup/mati seseorang sebagai obyek bisnis, yang berarti mendahului takdir Allah.

Asuransi yang dimaksud diatas adalah asuransi komersil, yaitu : perjanjian antara dua belah pihak antara perusahaan asuransi dan pihak tertanggung yang menyatakan bahwa pihak tertanggung berkewajiban membayar sejumlah premi kepada pihak asuransi untuk memberikan penggantian kerugian kepada pihak tertanggung bila terjadi kerugian. Kontrak ini tidak bertujuan kooperatif atau solidaritas, akan tetapi semata-mata bertujuan mencari laba. Dan laba tersebut diperoleh dari selisih total premi nasabah dan kewajiban penggantian yang harus diberikan.

Berbeda dengan Asuransi takaful, yaitu: himpunan sekelompok orang yang menghadapi resiko yang sama, setiap anggota membayar iuran yang telah ditetapkan, iuran tersebut digunakan untuk mengganti kerugian yang menimpa anggota, jika total iuran berlebih setelah diberikan gantirugi kepada anggota yang terkena kerugian, maka sisa iuran dibagikan kembali kepada para anggota dan jika total iuran kurang dari jumlah uang ganti-rugi maka ditarik iuran tambahan dari seluruh anggota untuk menutupi defisit atau rasio bayaran ganti-rugi dikurangi. Para anggotanya tidak bermaksud mencari laba akan tetapi bertujuan kooperatif dan solidaritas mengurangi kerugian yang menimpa sebagian anggota. Dan setiap anggota merupakan pihak penanggung dan tertanggung.

Salah satu aplikasi Asuransi Syariah pada saat sekarang ini adalah  Asuransi (takaful) syariah adalah asuransi yag prinsip operasionalnya didasarkan pada syariat Islam dengan mengacu pada al-Quran dan as-Sunnah. Sebagai sebuah asuransi yang digali dari prinsip dan nilai Islam, asuransi takaful memiliki karakteristik tertentu, antara lain : a. Akad yang dilakukan adalah akad at-takafuli, b.selain tabungan peserta dibuat pula tabungan tabarru’ (Fatwa Dewan Syari'ah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 53/DSN-MUI/III/2006 Tentang Tabarru’ Pada Asuransi Syariah)[11]., c. Merealisirkan prinsip bagi hasil (mudharabah dan musyarakah) .

Akhirnya asuransi itu sebenarnya diperbolehkan dalam islam namun dengan catatan bahwa asuransi tersebut harus mengacu pada nilai-nilai serta ketentuan-ketentuan dalam islam. Maka asuransi syariah merupakan solusi ditengah kebimbangan akan kehalalan dan keharaman asuransi konvensional.

e.     Jual Beli Barang secara Habalul Habalah

Dari Ibnu Umar ra, ia berkata, "Adalah kaum jahiliyah biasa melakukan jual beli daging unta sampai dengan lahirnya kandungan, kemudian unta yang dilahirkan itu bunting. Dan, habalul habalah yaitu unta yang dikandung itu lahir, kemudian unta yang dilahirkan itu bunting, kemudian Nabi melarang yang demikian itu." (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari IV: 356 no: 2143, Muslim III: 1153 no: 1514, ‘Aunul Ma’bud IX: 233 no: 3365, 64, Tirmidzi II: 349 no: 1247 secara ringkas, Nasa’i VII: 293 dan Ibnu Majah II:740 no: 2197 secara ringkas).

f.      Jual Beli secara ‘Inah.

Yang dimaksud jual beli secara ‘inah ialah seseorang menjual sesuatu kepada orang lain dengan harga bertempo, lalu sesuatu itu diserahkan kepada pihak pembeli, kemudian penjual itu membeli kembali barangnya tadi secara kontan sebelum harganya diterima, dengan harga yang lebih rendah daripada harga penjualnya tadi.

Dari Ibnu Umar ra, bahwa Nabi saw bersabda, "Apabila kamu berjual beli secara ‘inah dan "memegangi ekor-ekor sapi" [kinayah/kiasan sibuk dengan urusan peternakan/keduniaan> dan puas dengan pertanian serta meninggalkan jihad, maka Allah akan menguasakan atas kamu kehinaan, dia tidak akan mencabut hingga kamu kembali kepada agamamu." (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no:423 dan "Aunul Ma’bud IX:335 no:3445).

3.      Adanya Unsur Riba

Riba (الربا) secara bahasa bermakna : ziyadah (زيادة – tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistik, riba juga berarti tumbuh dan membesar. Adapun menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil. Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli meupun pinjam-meminjam secara batil atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam Islam[12].

Mengenai hal ini, Allah Swt mengingatkan dalam firman-Nya dalam QS. An-Nisa’ : 29

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil ....”

Macam-macam Riba

Secara garis besar, riba dikelompokkan menjadi dua. Masing-masing adalah riba utang piutang dan riba jual beli.

Riba utang piutang terdiri atas :

1.      Riba Qardh ( رباالقرض)

Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berutang (muqtaridh).

Contoh : Pak Saleh butuh uang tunai maka ia meminta pinjaman kepada pak Khalid sebanyak 50 juta rupiah, yang akan dibayar setelah 1 tahun. Pak Agung menyanggupi dengan syarat dikembalikan sebesar 55 juta rupiah.

2.      Riba Jahiliyyah ( رباالجاهلية)

Utang dibayar lebih dari pokoknya kerena sipeminjam tidak mampu membayar utangnya pada waktu yang ditetapkan.

Contoh : Pak Saleh membeli mobil pak Khalid seharga 50 juta rupiah yang akan dilunasi dalam waktu 3 tahun. Tatkala jatuh tempo pembayaran pak Saleh tidak memiliki uang untuk membayar, maka pak Khalid berkata, "Aku beri tenggang waktu satu tahun lagi dengan syarat hutang bertambah menjadi 55 juta rupiah". Tambahan 5 juta rupiah itu yang dinamakan dengan riba.

Riba jual beli terdiri atas :

1.       Riba Fadhl  (رباالفضل)

Pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkanitu termasuk dalam jenis barang ribawi.

Contoh  :

a.     Menukar satu gantang kurma jenis sukari dengan 2 gantang kurma jenis barhi dengan cara tunai.

b.     Menukar 100 gram emas baru dengan 200 gram emas usang dengan cara tunai.

c.     Menukar Rp. 10.000,- kertas dengan Rp. 9.800,- logam dengan cara tunai.

2.       Riba Nasi’ah (رباالنسية)

Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dan yang diserahkan kemudian.

Contoh :

a.     Menukar 1 gantang kurma dengan 1 gantang gandum dengan cara tidak tunai.

b.     Menukar 100 gram emas dengan 100 gram emas dengan cara tidak tunai.

c.     Menukar SR. 100 ,- dengan Rp. 2.000,- dengan cara tidak tunai.

Benda-benda yang telah ditetapkan ijma atas keharamannya karena riba ada enam macam, yaitu :

1.         Emas,

2.         Perak,

3.         Gandum,

4.         Syair,

5.         Kurma,

6.         Garam.

Para Ulama fiqih sepakat menyatakan bahwa muamalah dengan cara riba hukumnya haram. Keharaman riba ini dapat dijumpai dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits-hadits Rasulullah Saw. Riba adalah usaha yang haram menurut syariat Islam, sesuai dengan Al-Qur’an, Hadits dan Ijma[13]

1.         Tahap pertama ini Allah Swt mengharamkan riba secara total dengan segala bentuknya. Firman Allah Swt dalam QS. Al-Baqarah : 275 yang berbunyi :

Artinya : “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba... “

2.         Tahap kedua, Allah Swt telah memberikan isyarat akan keharaman riba melalui kecaman terhadap praktek riba dikalangan masyarakat Yahudi. Firman Allah Swt dalam QS. An-Nisa’ : 161 yang berbunyi :

Artinya : “Dan disebabkan mereka memakan riba, Padahal Sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih”.

 

3.         Tahap ketiga, Allah Swt menunjukkan bahwa riba itu bersifat negatif. Pernyataan ini disampaikan Allah Swt dalam QS. Ar-Rum : 39 yang berbunyi :

Artinya : “Dan sesuatu Riba (tambahan) yang kamu berikan agar Dia bertambah pada harta manusia, Maka Riba itu tidak menambah pada sisi Allah....”

Pelarangan riba dalam Islam tidak hanya merujuk pada Al-Qur’an, melainkan juga al-Hadits. Hal ini sebagaimana posisi umum hadits yang berfungsi untuk menjelaskan lebih lanjut aturan yang telah digariskan melalui Al-Qur’an, pelarangan riba dalam hadits lebih lebih terinci.

1.         Alasan keharaman riba dalam Sunnah Rasulullah Saw diantaranya adalah dari Jabir yang diriwayatkan oleh Muslim, yang berbunyi :

عَنْ جَابِرٍ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ.

Artinya : “Jabir berkata bahwa Rasulullah SAW mengutuk orang yang menerima riba, orang yang membayarnya, dan orang yang mencatatnya, dan dua orang saksinya, kemudian beliau bersabda, ‘Mereka itu semua sama’ “ (HR. Muslim)

2.         Alasan keharaman riba dalam Sunnah Rasulullah Saw selanjutnya adalah

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَشَاهِدَهُ وَكَاتِبَهُ.

 ( رواه أبو داود ) 

Artinya : “Rasulullah Saw melaknat para pemakan riba, yang memberi makan dengan cara riba, para saksi dalam masalah riba, dan para penulisnya. “ (HR. Abu Daud).

Kaum muslimin seluruhnya telah bersepakat bahwa asal dari riba adalah diharamkan, terutama sekali riba pinjaman atau hutang. Bahkan mereka telah berkonsensus dalam hal itu pada setiap masa dan tempat. Para ulama Ahli Fikih seluruh madzhab telah menukil ijma’ tersebut. Memang ada perbedaan pendapat tentang sebagian bentuk aplikasinya, apakah termasuk riba atau tidak dari segi praktisnya, namun tidak bertentangan dengan asal ijma’ yang telah diputuskan dalam persoalan itu.[14]

2.3 Negosiasi dalam Berbisnis

1.         Definisi Negosiasi

Secara umum pengertian Negosiasi adalah sebuah proses tawar menawar antara negosiator dari dua pihak untuk menemukan solusi yang tepat dan dapat diterima oleh pihak yang terlibat. Negosiator adalah orang yang melakukan Negosiasi. Ada beberapa kondisi khusus di mana negosiasi akan mencapai hasil terbaik :

a.     Saat hanya melibatkan dua pihak yang bernegosiasi.

b.     Merupakan kepentingan utama terjadi antara kedua belah pihak.

c.     Semua pihak merasa bahwa negosiasi akan menghasilkan hasil yang lebih baik.

d.     Semua pihak ingin bekerja sama, daripada memulai situasi konflik yang akan sangat merugikan.

2.         Langkah-langkah Dalam Melakukan Negosiasi

a.       Persiapan

Sebelum negosiasi dilakukan, maka salah satu pihak harus menentukan tempat dan waktu untuk negosiasinya. Tetapi penentuan ini tidak bisa sepihak, harus dikomunikasi ke pihak lain yang diajak negosiasi apakah cocok dengan tempat dan waktunya. Karena negosiasi ini butuh situasi yang kondusif, nyaman agar bisa fokus dalam bernegosiasi.

Dengan tempat dan waktu yang sama-sama sesuai, maka tentu proses negosiasi akan lancar dan bisa menghasilkan keputusan yang benar-benar matang.

b.      Diskusi

Kemudian tahap selanjutnya adalah tahap diskusi. Di dalam tahap ini, masing-masing pihak wajib melempat ide, saran, atau yang menjadi masalah utama. Nah dalam proses diskusi ini, semua pihak wajib memperhatikan, mendengarkan apa yang disampaikan masing-masing pihak. Berikan kesempatan masing-masing untuk mengungkapkan apa yang diinginkan. Catat jika perlu dan memang kalau ada poin yang penting.

c.       Klarifikasi Tujuan

Kemudian bisa dengan mengklarifikasi tujuan masing-masing pihak. Pihak A ingin seperti itu tentu punya tujuan, begitu juga dengan pihak B. Dengan memberikan klarifikasi tujuan ini akan membuka pemikiran baru dan solusi yang akan bisa diciptakan dalam negosiasi ini. Dan dengan klafifikasi ini bisa meluruskan hal-hal yang sebelumnya jadi tanda tanya atau malah yang jadi salah paham.

d.      Win-Win Solution

Kalau sudah saling berdiskusi dan mengklarifikasi tujuannya, maka kemudian bisa saling memberikan solusi. Inilah tahap yang paling penting dalam negosiasi, karena di tahap ini perlu ada keterbukaan dan tidak boleh egois. Anda sudah tahu masalah partner Anda dan apa yang diinginkan, selanjutnya Anda bisa menyesuaikan dengan kebutuhan Anda.

Hal yang wajar ketika Anda mengajukan solusi tetapi masih ditolak untuk pihak lain, itu artinya belum mencapai Win-Win Solution. Maka dari itu perlu mencari solusi baru yang sama-sama menguntungkan. Di sini masing-masing pihak juga menawarkan keuntungan lain yang sebelumnya belum dibahas agar bisa menjadi referensi tambahan untuk menyetujui.

Misalnya saja ada calon klien yang ingin memesan produk Anda, tetapi klien tersebut merasa penawaran harga Anda masih terlalu tinggi. Mereka ingin lebih murah lagi. Agar bisa sepakat, Anda mungkin bisa memberikan solusi akan memberikan kualitas yang lebih bagus atau mungkin dari pihak klien memberikan solusi ke depannya akan bekerja sama dengan bisnis Anda lagi dalam jangka panjang jika harga bisa diturunkan. Nah hal-hal semacam itu tentu bisa jadi solusi yang saling menguntungkan.

e.       Buat Perjanjian

Jika sudah ketemu Win-Win Solution, maka tahap selanjutnya adalah membuat perjanjian. Perjanjian yang saling mengikat dan bisa menjadi pegangan untuk bisa saling percaya. Pastikan dalam membuat perjanjian, masing-masing pihak sudah terbuka, menerima, dan sepakat atas semua hasil dan risikonya. Buatlah perjanjian hitam di atas putih agar perjanjian tersebut lebih kuat.

f.       Merealisasikan Hasil Perjanjian

Langkah terakhir adalah dengan merealisasikan hasil perjanjian yang sudah disepakati bersama. Apabila di tengah jalan ada yang tidak sesuai dengan perjanjian, maka perlu diselesaikan melalui cara yang sudah ditetapkan dalam perjanjian.[15]

3.         Proses Negosiasi

            Menurut Hartman, ada empat poin penting yang perlu diperhatikan sebelum bernegosiasi, antara lain pencarian fakta terutama dari pihak lain (lawan negosisasi), menaksir posisi lawan negosisasi, membuat perencanaan yang baik, dan memilih serta mengatur tim negosiasi. Sementara itu, menurut Casse, ada tiga tahapan penting dalam bernegosiasi, yaitu tahap perencanaan (sebelum negosiasi), tahap implementasi (selama negosiasi), dan tahap peninjauan (setelah negosiasi).

a.     Tahap perencanaan.

Tahap perencanaan negosiasi membutuhkan tiga tugas utama, yaitu merencanakan sasaran negosiasi, memutuskan strategi, dan memperjelas proses negosiasi.

         i.         Sasaran Negosiasi

Sasaran negosiasi adalah apa hasil yang diharapkan dalam bernegosiasi. Hal ini merupakan salah satu alasan utama mengapa seseorang bernegosiasi. Penentuan sasaran atau target dalam bernegosiasi sangatlah penting sebagai arahan atau petunjuk dalam bernegosiasi. Ada dua jenis sasaran dalam bernegosiasi, yaitu sasaran ideal dan sasaran dasar (batas minimal yang dapat dicapai).

        ii.         Strategi Negosiasi

Komponen kedua adalah strategi negosiasi yang merupakan cara atau teknik untuk mencapai tujuan bernegosiasi. Untuk mencapai kesepakatan kedua belah pihak memang diperlukan strategi yang tepat. Ada beberapa strategi negosiasi yang dapat anda gunakan dalam bernegosiasi, antara lain : strategi kooperatif, strategi kompetitif, dan strategi analitis.

1.     Strategi Kooperatif

a.     Sasarannya mencapai kesepakatan kedua belah pihak

b.     Memakai semboyan win-win solution

c.     Mempercayai pihak lawan

d.     Melakukan kompromi jika diperlukan dan timbal balik

e.     Menciptakan landasan dan kepentingan bersama

2.     Strategi Kompetitif

a.     Sasaran strateginya adalah mengalahkan lawan

b.     Tidak mempercayai lawan dan siap bertarung

c.     Menuntut sebuah konsesi, menegaskan posisi, dan melancarkan tekanan.

d.     Tidak memberikan apa-apa dan menghabiskan semuanya

3.     Strategi Analitis

a.     Mempunyai filosofi bahwa seorang negosiator adalah pemecah masalah, bukan seorang petarung

b.     Memandang negosiasi sebagai bentuk latihan dalam memecahkan masalah, dan bukannya sebagai permainan

c.     Berusaha kreatif dan bersama-sama mencari alternatif solusinya

d.     Menggunakan kriteria yang objektif dalam mengambil keputusan

e.     Membuat alasan yang rasional dan bukan atas dasar perasaan

Komponen ketiga adalah proses negosiasi. Sebelum mencapai tujuan yang anda tentukan sebelumnya, perlu diketahui bahwa dalam negosiasi sangat diperlukan yang namanya proses negosiasi yang melibatkan kedua belah pihak. Proses negosiasi merupakan proses suatu proses tawar-menawar yang diharapkan mampu menghasilkan suatu kesepakatan di kedua belah pihak yang saling menguntungkan.

Menurut Casse dalam proses negoasiasi ada enam tahapan penting yang perlu diperhatikan, antara lain : (1) persiapan, (2) kontak pertama, (3) konfrontasi, (4) Kompromi, (5) Solusi, (6) konsolidasi.

b.     Tahap Implementasi.

Tahap implementasi merupakan tahapan penerapan atau tindakan yang diperlukan agar mencapai sukses dalam bernegosiasi. Implementasi memiliki komponen penting antara lain : taktik negosiasi, keterampilan negosiasi, dan perilaku negosiasi.

1.     Taktik Negosiasi

Macam-macam taktik negosiasi, antara lain:

a.     Taktik dengan cara anda.

b.     Taktik bekerja sama.

c.     Taktik tidak bertindak apa-apa.

d.     Taktik melangkah ke tujuan lain.

2.     Keterampilan bernegosiasi.

Macam-macam keterampilan bernegosiasi, antara lain:

a.     Persiapan.

b.     Memulai negosiasi.

c.     Strategi dan teknis.

d.     Kompromi.

e.     Menghindari kesalahan taktis.

3.     Tahap peninjauan negosiasi.

Tahap ini merupakan tahapan setelah berlangsungnya suatu proses negosiasi. Tahapan ini memiliki arti yang sangat penting bagi seorang negosiator dalam meninjau apa yang sudah dilakukannya selama bernegosiasi.

Ada beberapa alasan penting mengapa tahap peninjauan negosiasi perlu dilakukan, antara lain :

a.     Untuk memeriksa apakah anda sudah mencapai tujuan anda.

b.     Jika tidak, maka hal itu dapat menjadi pelajaran sekaligus pengalaman yang sangat berharga bagi seorang negosiator.

c.     Jika ya, maka pastikan apa yang sudah anda lakukan dengan baik dan bangunlah kesuksesan anda.

4.         Peran Negosiator

Seorang negosiator dapat melakukan berbagai peran penting dalam bernegosiasi, antara lain :

a.     Berperan sebagai seorang pemimpin

b.     Faktual

c.     Analitis

d.     Reliasional

e.     Intuitif

5.          Macam-macam Negisiator

a.           Negosiator curang

Harus berhati-hati berhadapan dengan seorang negosiator yang curang karena pada dasarnya yang terlintas dalam benak pikirannya adalah bagaimana memenangkan negosiasi dan mengalahkan anda. Yang penting bagi negosiator curang adalah dapat memenangkan negosiasinya.

b.          Negosiator Profesional

Seorang negosiator yang profesional akan tahu apa yang sedang dinegosiasikan, dan tahu bagaimana memperoleh apa yang diinginkannya. Ia memiliki pengetahuan dan ketrampilan bernegosiasi dengan baik. Yang tak kalah pentingnya adalah ia tahu banyak hal tentang lawan negosiasinya.

c.           Negosiator bodoh

Seorang negosiator yang bodoh cenderung menghendaki kekalahan untuk kedua belah pihak. Tidak peduli apapun yang anda lakukan, ia akan berusaha sekuat tenaga agar tidak ada yang bisa menang. Yang penting baginya tidak ada yang menang dalam negosiasi. Oleh karena  itu, untuk menghadapi negosiator macam ini, anda harus memahami apa yang sebenarnya terjadi di balik perilaku pihak lawan yang berpura-pura bodoh tersebut. Jika ia takut kalah, yakinkanlah agar ia memiliki motivasi yang kuat untuk bernegosiasi dengan baik. Jika ia tidak tahu, berilah pengertian yang sejelas-jelasnya, sehingga ia memahaminya dengan baik. Jika ia merasa terancam, maka bersikaplah arif dan bijak dalam bernegosiasi.

d.          Negosiator Naif

Pada umumnya ia adalah negosiator yang tidak siap bernegosiasi, tidak tahu pokok persoalan yang akan dinegosiasikan, bahkan cenderung percaya begitu saja pada pihak lawan negosiasinya. Kalau perlu, ia bersedia memberikan apa saja yang diminta oleh pihak negosiasinya. Dengan seorang negosiator yang naïf, pihak lawan jelas dapat menang dengan mudah. Namun, pihak lawan sebaiknya tetap harus lebih berhati-hati, karena bukan tidak mungkin ia sedang menyembunyikan sesuatu yang tidak diketahui pihak lawan negosiasinya. Ia bisa juga menyetujui apa yang diinginkan pihak lawan negosiasi, karena ia mempunyai tujuan lain yang menurutnya sangat berarti baginya.[16]

BAB III

PENUTUP

3.1 Simpulan

Dari uraian uraian dalam makalah ini, maka dapat disimpulkan:

1.     Konsep jual beli yang dilarang pelbagai jenis sesuai dengan cabang-cabangnya dan sifatnya. Hal ini dapat dibagi kedalam : ditinjau dari sudut rusak syarat akad, ditinjau dari sudut rusak syarat sah.

2.     Faktor yang menyebabkan jula beli dilarang dalam Islam adalah adanya unsur kezhaliman (Al-Zhulum) yang meliputi masalah Jual beli Najsy, Ihtikar, Ghisysy, merampas hak cipta, menjual barang yang masih dalam proses transaksi dengan orang atau menawar barang yang masih di-tawar orang lain, menjual barang yang digunakan untuk maksiat. Kemudian adanya unsur bai’ Al-Ma’dum, bai’ Al-Gharar, Transaksi berjangka dan Asuransi yang dilarang dalam Islam, jual beli barang secara habalul habalah dan jual beli secara ‘inah. Kemudian adanya unsur Riba.

3.       Negosiasi adalah proses tawar-menawar ataupun kesepakatan yang terjadi antara kedua pihak agar keduanya mendapatkan keuntungan ataupun kesepakatan bersama. Negosiasi sudah hampir setiap hari dilaksanakan di dalam kehidupan setiap manusia di bumi ini jadi hendaklah kita bernegosiasi dengan cara yang baik sesuai dengan yang telah diajarkan dengan memandang tingkat kesopanan dan keramah-tamahan yang tinggi.

3.2 Saran

Demikianlah makalah ini, kami sebagai penulis sadar bahwa makalah yang disusun ini jauh dari kesempurnaan, maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun untuk kelanjutan makalah yang akan datang.