Upaya Pemberantasan Korupsi di Indonesia dalam Berbagai Era Pemerintahan
Table of Contents
Upaya Pemberantasan Korupsi di Berbagai Era Pemerintahan - Masalah
korupsi ini sangat berbahaya karena dapat menghancurkan jaringan
sosial, yang secara tidak langsung memperlemah ketahanan nasional serta
eksistensi suatu bangsa. Reimon Aron seorang sosiolog berpendapat bahwa
korupsi dapat mengundang gejolak revolusi, alat yang ampuh untuk
mengkreditkan suatu bangsa. Bukanlah tidak mungkin penyaluran akan
timbul apabila penguasa tidak secepatnya menyelesaikan masalah korupsi.
Korupsi
merupakan penyakit yang sudah melanda Indonesia sejak lama. Sejak zaman
Pemerintahan Soekarno hingga kini korupsi belumlah menemukan solusi
yang tepat. Namun demikian, setiap era pemerintahan mempunyai strategi
dan upaya untuk menangangi korupsi, diantaranya:
a. Era Soekarno (1945-1967)
Pemerintah
Soekarno berupaya melakukan rasionalisasi perusahaan-perusahaan asing
melalui suatu Undang-Undang. Pihak militer (AD) telah melakukan aksi
sepihak dan merebut perusahaan-perusahaan asing tersebut sebelum
Undang-Undang diberlakukan (1958).
Pada
13 Desember 1957, Mayor Jenderal A.H. Nasution (KSAD pada saat itu)
melakukan larangan pengambil alihan perusahaan Belanda tanpa
sepengetahuan militer dan menempatkan perusahaan-perusahaan tersebut di
bawah pengawasan militer.
Pemerintah
Indonesia melakukan kebijakan politik benteng dengan memberikan bantuan
kredit dan fasilitas-fasilitas kepada pengusaha pribumi. Program ini
tidak melahirkan pribumi yang tangguh melainkan menimbulkan terjadinya
praktek Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN). Pengusaha yang mendapat
lisensi hanyalah yang dekat dengan pemerintah dan kekuatan-kekuatan
politik yang dominan.
Kegagalan
demokrasi terpimpin mengatasi disintegrasi administrasi kenegaraan.
Perekonomian tetap bergantung pada birokrasi partai-partai politik dan
militer. Aparat negara tidak bekerja dengan baik dan korupsi merajalela.
b. Era Soeharto (1965 -1998)
Rezim
orde baru menggunakan pendekatan pembangunan di sektor ekonomi untuk
mengatasi persoalan-persoalan yang muncul di orde Lama. Pada masa orde
baru terjadi 3 fenomena:
- Kerjasama pimpinan militer dengan pengusaha Cina
- Kompetisi pengusaha pribumi dengan keturunan Cina
- Pengaruh perusahaan-perusahaan negara yang dikontrol oleh militer melawan teknokrat yang mendukung liberalisasi dan intervensi barat.
Beberapa hal yang menjadi catatan sejarah korupsi semasa Orde Baru diantaranya:
- Pertamina merupakan pendukung utama kekuasaan Soeharto dan Orde Baru. Namun pertamina menjadi sarang korupsi, patronase dan penyedotan sumber dana yang membuat pertamina ambruk di tahun 1975-1976.
- Januari 1970 beberapa organisasi mahasiswa turun ke jalan-jalan untuk memprotes korupsi yang terjadi di tubuh pemerintahan. Presiden Soeharto mengumumkan pembentukan komisi IV untuk menangani korupsi.
- Diberlakukannya Undang-Undang No 71 tentang pemberantasan korupsi walaupun dalam kenyataannya perangkat hukum tersebut tidak berfungsi dengan baik. Sistem politik Indonesia menerapkan lembaga kontrol pemerintahan seperti DPR, BPK, Kejaksaan Agung, dan Badan Penertiban Aparatur Negara, akan tetapi lembaga-lembaga tersebut tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
- Tahun 1990, Jenderal M Yusuf sebagai ketua BPK telah menyerahkan pemeriksaan hasil tahunan yang dilakukan BPK atas APBN 1988/1989 kepada DPR. Dalam acara tersebut, M Yusuf mengatakan bahwa lembaga yang dipimpinnya menemukan banyak penyimpangan terhadap ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam pemakaian dana-dana pembangunan.
- Sektor kehutanan menggunakan sector migas setelah redupnya masa kejayaan “Oil Boom”. Di awal tahun 1980 terkenal dengan istilah “green gold” atau emas hijau. Hasil hutan Indonesia yang dieksport menjadi penghasil devisa nomer dua setelah minyak dan gas bumi. Dua diantara lima perusahaan swasta terbesar menyerahkan sebagian saham dan pengelolaan pad akeluarga Soeharto.
- Gerakan reformasi yang dipelopori mahasiswa merupakan akumulasi dari kekecewaan terhadap kinerja rezim Orde Baru. Krisis ekonomi yang muncul tahun 1997 merupakan wujud nyata kebijakan-kebijakan ekonomi orde Baru yang sarat KKN dan ketergantungannya dengan modal asing dan hutang luar negeri.
c. Era Habibie (Mei 1998 – September 1999)
Gerakan
reformasi 1998 mempunyai agenda utama pemberantasna Korupsi Kolusi dan
Nepotisme. Gerakan ini bermaksud mengusut praktek KKN di Orde Baru serta
menciptakan pemerintahan yang bersih di era berikutnya. Beberapa
perangkat hukum diciptakan oleh Habibie begitu beliau menjabat sebagai
presiden, diantaranya :
1. TAP MPR no XI/1998 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN.
2. UU No.18 tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN.
3. UU No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasn tindak pidana korupsi (UU Anti Korupsi).
4. Inpres No. 30 tahun 1998 tentang pembentukan komisi pemeriksa harta pejabat.
5. Gagasan pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (Anti Corruption Comission).
Hal lain yang dilakukan semasa pemerintahan Habibie yaitu:
- Menko Wasbang mengeluarkan siaran pers tentang upaya menghapus KKN dari perekonomian nasional. Dalam siaran pers 15 Juni 1999 dijabarkan kembali pengertian KKN sebagai praktek Korupsi Kolusi Nepotisme antara pejabat dan swasta.
- Mandat dari TAP XI/1998 kepada Habibie untuk melakukan pemberantasan korupsi dan pengusutan KKN Soeharto sesegera mungkin. Akan tetapi pemerintahan Habibie tidak mampu menyeret Soeharto ke pengadilan, justru mengehentikan penyidikan kasus tersebut.
d. Era Abdurrahman Wahid
Segera setelah dilantik, Abdurrahman Wahid melakukan beberapa tindakan untuk menangani korupsi diantaranya
- Melalui Keppress No 44 tahun 2000 tanggal 10 Maret 2000 membentuk lembaga Ombudsman yang mempunyai wewenang melakukan klarifikasi, monitoring/pemeriksaan atas laporan masyarakat atas penyelenggaraan negara.
- Berdasarkan kesepakatan Letter of Intent (LOI) antara pemerintah RI dan IMF serta pasal 27 UU No. 31 tahun 1999 maka Kejaksaan Agung membentuk tim gabungan pemberantasan tindak pidana korupsi. Tim gabungan ini tidak berfungsi dengan baik karena posisinya di bawah Jaksa Agung, tidak diberikan kewenangan luas dalam melakukan penyidikan dan penyelidikan kasus-kasus korupsi.
- Presiden membentuk komisi pemeriksa berdasa pasal 10 Undang Undang No.28 tahun 1999. Komisi yang dibentuk ini kemudian terkenal dengan nama KPKPN (Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara). Namun dalam pelaksanaannya muncul kontroversi. Pelaksaan seleksi calon anggota KPKPN yang dilakukan komisi II DPR tidak dilakukan secara transparan dan tidak melibatkan partisipasi masyarakat. Hal ini memunculkan kesan adanya kepentingan parpol atau kelompok kepentingan dalam proses seleksi ini. Kontroversi lain yaitu perbedaan jumlah anggota yang ditetapkan presiden dan DPR.
- Persiapan pembentukan komisi anti korupsi berdasar UU No. 31 tahun 1999 dibawah koordinasi dirjen hukum dan perundang-undangan, departemen kehakiman dan HAM.
e. Era Megawati dan Soesilo Bambang Yudhoyono
- Pembentukan lembaga anti korupsi oleh pemerintahan SBY, diantaranya : Tahun 1999 membentuk tim gabungan pemberantasan tindak pidana korupsi, membentuk tim pemberantasan tindak pidana korupsi pada tahun 2005.Namun demikian, banyaknya lembaga anti korupsi di negara ini jelas bukan menghasilkan suatu prestasi melainkan kegagalan-kegagalan lembaga tersebut memberantas korupsi.
- Penerbitan Undang-Undang Anti Korupsi antara lain: UU no 15 tahun 2002 tentang tindak pidana pencucian uang, PP No. 71 tahun 2000 tentang tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat dan pemberian penghargaan dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
f. Era Soesilo Bambang Yudhoyono dan Boediono
Era
reformasi dengan runtuhnya orde lama bukan berarti korupsi begitu saja
terselesaikan. Dewasa ini korupsi masih merupakan persoalan bangsa dan
negara yang belum benar-benar terselesaikan. Arah perjuangan
penyelesaian korupsi memerlukan upaya keras semua pihak. Dari sejak
demokrasi terpimpin penyakit korupsi sudah ada, bahkan gejala korupsi
yang timbul sudah mengarah pada bentuk korupsi yang sifatnya sistemik.
Artikulasi “sistemik” ini bermakna komprehenshif, bahkan dapat dikatakan
sebagai suatu proses yang signifikan. Korupsi sudah menjadi bagian dari
sistem yang ada.[8]
Upaya
pemberantasan korupsi dengan penegakan hukum baik POLRI, KPK ternyata
belum membuahkan hasil yang optimal. Peraturan-peraturan yang diciptakan
baik dalam bentuk TAP MPR maupun Undang-Undang seakan mengalami
kelumpuhan fungsi dalam memberantas korupsi. Korupsi bukan
terletak pada mavia anggaran. Semua kasus yang melibatkan elit politik
menjadi sorotan. Bahkan pada tahun 2012, sepuluh anggota DPR terkena
korupsi, enam diantaranya dari Partai Demokrat. Hal ini wujud nyata
bahwa korupsi sudah menjadi suatu budaya yang mengakar ke dalam sistem
kelembagaan.
Dalam pandangan Arvind K. Jain, korupsi yang dilakukan oleh political leaders dalam penetapan kebijakan publik termasuk kedalam grand corruption, yakni praktik korupsi yang berdampak luas dan berkepanjangan bagi masyarakat. Political leaders menggunakan
kekuasaannya untuk menetapkan sebuah kebijakan yang hanya menguntungkan
segelintir pihak saja, mengorbankan jutaan masyarakat, bahkan tak
jarang pada akhirnya harus merubah sistem penyelenggaraan pemerintahan
yang ada. Misalnya kebijakan privatisasi BUMN, bailout kepada
pihak tertentu hingga eksploitasi barang tambang dan gas alam yang
menguntungkan segelintir kelompok atau investor. Tak hanya itu, grand corruption juga mampu berbentuk kebijakan publik yang memiliki tujuan-tujuan politis demi pelanggengan kekuasaan, dimana seorang political leaders menggunakan
kekuasaannya dalam menetapkan kebijakan publik untuk meraup suara di
pemilu selanjutnya, atau sebagai investasi bagi suksesi periode
berikutnya, layaknya kebijakan bantuan langsung tunai (BLT) hingga
rekrutmen CPNS yang melebihi kuota anggaran negara. Pada titik ini,
praktik korupsi dalam pembuatan kebijakan publik yang tergolong sebagai grand corruption memiliki
tingkat urgensi tinggi untuk dibenahi bahkan dicegah, karena dengan
terus terjadinya praktik tersebut maka demokrasi di Indonesia akan sulit
untuk ditegakan.
TAP
MPR Tahun 1998 tentang pemberantasan korupsi, Undang-Undang yang
mendukung juga sudah baik, hanya memerlukan penegakan hukum yang jelas
dan melibatkan kerjasama semua pihak yang memiliki talenta dan wewenang
dibidangnya dalam menjalaninya. Misalnya
kerjasama polisi, eksekutif, yudikatif dan sebagainya. Undang-Undang
yang ada sekedar penegasan. Inpres sekedar penekanan dan pengingatan
lembaga di bawahnya. Hukum belum ditegakkan secara tegas bukan sekedar etalase.
Tahun
1999 merupakan titik anomali dengan lahirnya TAP MPR, lahirnya KPK,
otonomi daerah dsb. Banyak kasus muncul ke pengadilan. Panitera maupun
hakim sudah berhati-hati kalau ingin melakukan praktik kong kalikong.
Perlu ada perubahan budaya abstrak ke kongkrit. Ada sanksi yang
ditegakkan. Korupsi yang kecil seolah-olah mudah sedangkan kasus korupsi
yg besar lama-lama, disembunyikan bukti-bukti dalam proses
penegakannya. Sekarang banyak masyarakat yang mulai mampu mengungkap
hakim yang tidak adil dan mengadukannya ke KY(Komisi Yudisial) melalui
rekaman-rekaman, foto-foto dsb. Masalah perbedaan hukum, perbedaan
tafsir itu susah untuk diselesaikan. Kalau ada bukti-bukti kongkrit maka
akan mudah bagi KY untuk melakukan tindak lanjut.
Menurut filsuf Derida, timbulnya differong atau anomali, membuat pemimpin perlu membuat keputusan yg berbeda dari yang lain. Keadilan ada diantara hukum dan anarki.Differong datang
dari rakyat, bukan dari kalangan elit. Parpol tidak bisa karena masih
bagian elit politik. Kalau dari kalangan akademis dipandang tidak mampu
karena terjebak pada rutinitas pembelajaran. Demokrasi lahir dari dari
kekuatan rakyat. Media harus hati-hati agar tidak terjebak menjadi
corong elit politik. Di sinilah diperlukan peran rakyat dalam hal ini
masyarakat madani yang mampu mengimbangi kekuatan elit
politik/pemerintahan dalam mengatasi korupsi yang sifatnya sistematik.
Demokrasi Indonesia sifatnya masih fragile karena
hasil dari elit yang belum solid. Konstitusi penegakannya belum jelas.
Demokrasi imbas dari belum bersatunya elit. Diperlukan kekuatan
pengimbang dari bawah ke atas untuk mengatasinya yaitu melalui kekuatan
masyarakat madani. Jangan sekedar mengharap elit politik untuk mampu
mengatasinya. Inilah “anomaly” dimana Indonesia belum memiliki kekuatan
politik nyata untuk reformasi politik.
g. Era Joko Widodo
g. Era Joko Widodo
Sejumlah survei menunjukkan terjadi peningkatan tingkat kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan Jokowi dalam kurun tiga tahun terakhir. Kepuasaan publik umumnya muncul pada bidang pembangunan infrastruktur, politik dan keamanan serta kesejahteraan sosial.
Namun demikian muncul pula ketidakpuasan terhadap pemerintahan Jokowi terutama pada bidang pemberantasan korupsi. Usaha memerangi dan mencegah korupsi bukan tidak ada, namun belum menunjukkan level yang serius dan komitmen yang kuat sehingga terkesan berjalan lamban dan hasilnya jauh dari harapan.
Program pemberantasan korupsi tampaknya bukan prioritas utama pemerintahan Jokowi. Dua tahun pertama Jokowi lebih memprioritaskan lahirnya sejumlah paket kebijakan ekonomi dan konsolidasi partai politik pendukung pemerintah. Paket kebijakan reformasi hukum dan pemberantasan korupsi maupun pungutan liar (pungli) baru dilaksanakan menjelang tahun ketiga pemerintahan.
Demikianlah yang saya bagikan mengenai upaya pemberantasan korupsi berbagai era presiden semoga bermanfaat.